Tuesday, December 25, 2007

Mata Yang Terbenam

Bersama matamu yang terbenam
Kau bawa secarik kertas berisikan wangsit
Pesan singkat dari Semar
Pertanda gelisah Manikmaya sang Batara Guru

Bersama matamu yang terbenam
Kau hadirkan petang di nirwana
Senjamu begitu mengagumkan
Namun tak jua kutemukan perbatasannya dengan malam

Aku ingin bersama matamu yang terbenam
Mungkin dapat kulihat rahasia dewata bersamamu
Namun pusaka Trisara begitu cepat menyergap
Wahyu Tejamaya luput dari genggamanku

Oh mata yang selalu terbenam
Lihatlah betapa rindu telah kau hadirkan menjadi kutukan
Aku menyesal telah memandangmu sore sepulang kerja
Seperti sesal Sang Hyang Wenang berbesankan Rekata sang raja kepiting

Giessen, 25 Desember 2007

Es Muss Sein

Pucuk-pucuk pohon merapat lembut
Daunnya telah gugur semusim yang lalu
Dahannya yang kini telanjang
Menanti janji dedaunan untuk kembali di musim semi

Jejak-jejak embun yang mungil
Membeku diujung ranting
Seakan hendak menegaskan kembalimu dari jauh
Yang tiba melecutkan kasih diujung pagi

Telah kutolak semua kata pertama
Namun cinta memang isyarat tak terbantahkan
Ketika datang dan pergi bagaikan kastil yang udzur
Digerbangmu, kutemukan sebuah cincin yang dicuri sang Nuri

Bergemirisik rumput-rumput yang terbangun
Butiran salju tak datang tepat waktu
Lonceng gereja berisik bersahutan
Malam tiba lebih awal, bersama dingin yang membeku

Langit retak dan menangis
Pohonan lebur menjadi bayang-bayang
Gelap, dingin, rumput dan salju
Hanya bayangan yang tak eksis, hanya Aku dan Kau

Muss Es Sein? Haruskan begitu?
Bethoven memekikkan kwartet terakhirnya
Ya sudah seharusnya begitu!
Es Muss Sein, Hanya Aku! Mungkin juga Kau

Giessen, 25 Desember 2007

Saturday, November 10, 2007

Eksistensi

Akulah yang bernama sedih
Yang kau bariskan pada airmata
Tersembunyi, tak mewujud
Sendiri bernama eksistensi

Akulah yang bernama dingin
Yang kau genggam bersama salju
Bersembunyi, tak terbilang
Lenyap bersama kebekuan air

Akulah yang bernama gelap
Yang kau lekatkan pada diri malam
Tersamar, namun nyata
Bersetubuh dengan manifestasi

Akulah yang bernama cinta
Yang kau tatap pada mata kekasih
Terabaikan, namun menggetarkan
Esa bersama ciuman pertama

Akulah dirimu
Yang membisikkan ayat-ayat tak beragama
Hadir disetiap helaan nafas yang terabaikan
Tak terlahirkan namun tak berujung

Akulah yang bernama Tuhan
Yang kau saksikan pada detik-detik dalam hari
Menjelma diri sepanjang musim
Tunggal bersama ruang tak berbatas

Aku, kau
Hanya kita yang tahu

Giessen, 8 Nopember 2007

Thursday, November 8, 2007

Tetaplah Disitu

Berlebihan katamu
Jujur kataku
Cengeng katamu
Berperasaan kataku

Aku tak menulis untukmu
Aku menulis untuk kehidupan
Aku adalah kata pertama
Yang menitis dari awal penciptaan

Tetaplah duduk disitu
Bersama senja yang tak punya sikap

Giessen, 7 Nopember 2007

Selalu Begitu

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Jelata mengais hidup dari nasi sisa restoran
Memilah-milah menu yang belum basi
Memesan kelaparan dari rente kehidupan

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Misteri selalu terkandung dalam rahim malam
Pagi hari kadang tak sanggup membidani kelahirannya
Kalaupun lahir, kokok ayam telah menolak menjadi bapaknya

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Kota-kota menjelmakan diri menjadi mimpi
Meniduri siapa saja yang terbius candu urban
Langit seakan menjadi layar tancap opera kehidupan nan absurd

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Berputar-putar, menukik dan mencium bumi
Mencoba bangkit bersama musim semi
Namun angin terlalu kencang untuk sekedar berdiri

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Rindu, rasa cinta dan kematian menjadi tak berbeda
Entah sedih atau gembira
Hanya terpisah satu helaan nafas

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Hasil akhir kehidupan mungkin bernama sejarah
Tapi hidup belum berakhir, masih berlembar-lembar kuarto kosong
Menunggu kita menuliskan kisah menang dan kalah
Tak perlu kau baca semua ini, walau puisi ini mungkin untukmu
Jika hanya mencaci yang kau bisa, lakukanlah dengan hormat
Sebab setiap hidup merindukan kebebasan
Tak seorangpun bisa memenjarakannya...pun dirimu

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Setelahnya adalah melawan kekuasaan langit

Giessen, 7 Nopember 2007

Dibawah Langit Kurusetra

Drupadi baru saja mencuci rambutnya
Mensucikan diri dengan darah Dursasana
Sudah bertahun-tahun
Sejak kekalahan Yudhistira di meja judi

Durna dan Sengkuni dikutuki para dewa
Bharatayudha baru saja berakhir
Tak ada yang tahu siapa pemenangnya
Sebab kebenaran tak bisa tegak dengan peperangan

Ketika ribuan anak panah menembusi tubuh tua sang Bisma
Sejak itu, sosok suci selalu membuatku muak
Panah Arjuna dan kereta sang Wisnu
Menjelma sebongkah batu keangkuhan duniawi

Di sebuah senja, dari atas bukit pesakitan
Dibawah langit Kurusetra yang hitam
Kumuntahkan marahku
Perang baru akan segera menyingsing. Bersiaplah

Giessen, 7 Nopember 2007

Tak Ada Peradaban

Bangunan tua menara gading
Lukisan mahal dari kubangan darah
Benteng megah sejarah peperangan
Sejarah kemenangan dipayungi langit airmata

Tak ada peradaban kusaksikan
Tak ada, selain jejak perbudakan

Giessen, 7 Nopember 2007

Kita Memang Tak Pernah Bercinta

Kemarin
Kau belum disini
Hari ini
Kau tak jadi datang
Esok
Kau bukan kekasihku
Kita
Memang tak pernah bercinta

Kau dan Aku
Bukan siapa-siapa

Giessen, 7 Nopember 2007

Sunday, November 4, 2007

Kenapa Kau Tanyakan

Tak sadarkah dirimu
Ketika kau tanyakan
Mengapa Cinta begitu cepat tumbuh
Dalam satu helaan nafas

Tak sadarkah dirimu
Begitu butakah kau selama ini
Atau kau memang tak tau
Bahwa begitu mudahnya dirimu untuk dicintai

Bukan hanya aku
Tapi oleh semua, yang masih memiliki kepala sekaligus hati
Semoga namaku masih
Kau cantumkan dalam waiting list

Giessen, 4 Nopember 2007

Sunday, October 28, 2007

Lenyap Tak Bersisa

Pertengkaran pertama
Kau kuras airmataku

Pertengkaran kedua
Kau remukkan perasaanku

Pertengkaran ketiga
Kau tepiskan rasa sayangku

Pertengkaran keempat, kelima, keseratus
Kau rantai kebebasanku

Pertengkaran setelahnya
Kau kuhapus dari ingatanku

Hilang, terbang, lenyap
Tak bersisa

Giessen, 29 Oktober 2007

Dari Marahku

Tak puaskah dirimu
Dari satu kemenangan
Berpindah ke kejayaan yang lain
Belum cukupkah bagimu

Butuhkah engkau kekalahan dan sembah sujud dikakimu
Begitu pentingkah menumpahkan airmata kekasih
Atau bahkan kau butuhkan nyawanya
Sekedar menegaskan kelaki-lakianmu

Lihatlah dirimu dicermin
Setelah kemenangan ini
Kau bahkan tak sanggup menyentuhnya
Seperti Dursasana ejekulasi dini dihadapan Drupadi

Perempuan tak bisa kau hancurkan
Menggenggam kuat keyakinnya akan penciptaan
Air mata yang habis kau tumpahkan
Pelan-pelan memupuk pemberontakan

Dari marah yang menjelma kata-kata

Giessen, 29 Oktober 2007

Katakan Padaku

Katakan kepadaku
Apa yang membuatmu tak sadarkan diri
Rasa dendam?
Letih?
Terabaikan?
Putus asa?
Marah?

Kau masih juga diam
Kusentuh keningmu dengan sebuah kecupan sayang
Mukamu begitu pucat dan memancarkan kerapuhan
Takutmu tak lagi bisa kau maknai

Kau kembali tak sadarkan diri
Ketika dendammu
Letihmu
dan putus asamu
Tak bisa lagi kau ubah jadi marah.

Giessen, 28 Oktober 2007

Friday, October 19, 2007

Tidak...Kataku!

Beratus tahun kau rampok negeri kami
Kau adu domba dan kau angkuti rempah-rempah kami
Kau tanamkan permusuhan di tanah subur hunian dewata
Dan hari ini tiba tiba kau cekoki kami tentang Perdamaian

Beratus tahun kau hisap darah kami
Kau dirikan ribuan pabrik di atas tengkorak para kuli
Kau bayar tenaga dengan meludahkan kemiskinan
Dan hari ini kau datang, menggurui kami tentang hidup sehat

Beratus tahun kau gunduli hutan kami
Kau sogok para komparador nasional
Kau bayar para cukong untuk memperkosa bumi keramat
Dan hari ini kau berteriak tentang pemanasan global

Tutup mulutmu
Hari ini kamilah yang berkata
TIDAK!!!

Giessen, 16 Oktober 2007

Saturday, October 13, 2007

Bintang Telah Aku Curi

Bintang-bintang telah aku curi malam ini
Tidak akan ada lagi yang bisa menikmatinya
Langit telah kosong, tinggal bulan menangis kesepian
Semua telah kusembunyikan di sebuah gudang tak berwilayah

Bintang-bintang telah kucuri malam ini
Tak satupun teleskop yang akan menjangkaunya
Matilah ilmu pengetahuan yang mumpuni
Telah kulakukan makar atas kekuasaanmu

Bintang-bintang telah kusembunyikan
Matahari tak bisa lagi menghapusnya dari langit
Biarkan bulan terang sendiri diatas sana
Mungkin dia bisa belajar banyak arti kesendirian

Bintang-bintang telah aku kunci
Bersama dadamu yang penuh luka dan rasa marah
Bertahanlah sejenak, tunggulah aku pulang
Akan aku sisipkan sebuah bintang untukmu

Bintang-bintang telah aku penjarakan
Hanya satu yang kuselundupkan kepadamu
Agar kau tak lagi berduka
Dan kelak, hanya engkaulah satu-satunya yang bersinar


Giessen, 13 Oktober 2007

Semoga cepat sembuh, hanya itu yang bisa aku tulis, sebab hanya kata-kata yang tak butuh tiket pesawat. Itupun jika petugas Bandara Jakarta tak minta disogok kata-kata

Thursday, October 11, 2007

Sajak Perawan

Sayang, perawanilah diriku malam ini
Hanya ini waktu yang kau punya
Lakukanlah sesukamu, bertahun-tahun kau hamburkan kata cinta
Toh hanya ini yang kau butuhkan

Kekasih, perawanilah diriku
Ambillah untukmu, sebab setelah ini kan kuhirup udara kebebasanku
Bertahun dalam cengkeramanmu, takut dan cemas kehilangan cintamu
Menghamba dan meringkuk di pojok kelaki-lakianmu

Laki-lakiku perawanilah diriku
Besok aku akan terlahir kembali
Renggutlah darah pertama untuk birahimu
Perangkap raja-raja jaman purba

Lihatlah senyumku
Tidak seperti tangis berjuta perempuan biasa
Seolah hidup hanya sebatas keperawanan
Sebatas bercak darah di seprei dan celana dalam

Bajinganku
Coba katakan cinta sekali lagi
Aku ingin mendengar dan melihat matamu. Masih samakah???
Ah tidak kau sudah lewat, aku tak lagi mencintaimu, begitu juga engkau

Lihatlah tubuhku
Aku sudah kau perawani
Tak ada yang berubah
Selain sayap kebebasan yang tumbuh setelahnya

Dengan sayap itu
Aku akan terbang mencari kesejatian
Cinta dari seseorang, mungkin dua
Yang dikepalanya, tak bercokol dogma dan mistik malam pertama

Giessen, 11 Oktober 2007

Lailatul Qadar

Tadi malam aku berjumpa malaikat
Mintalah apapun dariku, malam ini lailatul qadar
Malam suci, malam doa-doa dikabulkan
Katanya mantap dan angkuh

Aku meminta
Buatlah semua orang di dunia ini kaya raya
Dan hentikanlah perang di muka bumi
Malaikat itu memalingkan wajah, dan pergi tanpa mengucap salam

TIDAK SOPAN!!! Kataku

Giessen, 11 Oktober 2007

Lebaran Bersama Kecoak

Idul fitri, lebaran
Terlalu sederhana hanya dengan kata maaf
Ibadah sekan menjadi sebentuk keangkuhan
Palsu dan terasing

Di kaki jembatan yang berbau basi
Segerombolan kecoak miskin berebut nasib
Takbir tak mengenyangkan perut yang kosong
Makan sehari sudah itu mati

Nasib tak cukup dibagi banyak
Kecoak yang masih lapar lalu masuk kelubang-lubang tanah jembatan
Melebarkan rongga bawah jembatan, memakan tanah sepuasnya
Perut mereka membesar dan meledak, luapan sungai menghanyutkan mayat mereka bersama kondom-kondom bekas berbau mesum

Ledakan menghamburkan tanah, jembatan goyah dan berongga
Ketika barisan pawai takbiran melintas diatasnya
Jembatan patah dan roboh mencium sungai, orang-orang menjerit panik
Tak ada lagi takbir di mulut, hanya pekikan meregang nyawa

Diujung rumput, seekor kecoak sekarat dan bergumam terbata
Selama ini kalian tak pernah bersama kami, kalian biarkan kami kelaparan
Sekaranglah saat bersama, tersenyumlah, marilah mati bersama
Karena lebaran sejati, hanya ada dalam kematian, kembali fitri

Giessen, 11 Oktober 2007

Akhirnya Suratmu Tiba

Akhirnya sepucuk suratmu tiba
Entah tersenyum, entah mencibir
Namun tak terkira bahagia melanda
Setelahnya, hanyalah kedukaan tanpa wajahmu

Giessen, 9 Oktober 2007

Telah Habis Kubagi

Harta, tak kau minta
Kata cinta, tak kau tagih
Sekotak coklat, tak kau harap
Seikat kembang, pun tak pernah kau mohonkan

Hanya waktuku yang sedikit kau inginkan
Itupun sudah habis kubagi

Tak ada lagi untukmu

Giessen, 9 Oktober 2007

Sajak Pavin Blok

Bagaikan seonggok pavin blok yang kelabu
Susah payah kujalinkan diriku, saling silang menguatkan
Kubiarkan pasir dan debu mengisi pori-poriku
Kau pasti mabuk malam ini
Subuh hari kau pasti melewati jalan ini
...dan kencing tepat dihidungku

Giessen, 9 Oktober 2007

Ketika Tidur Hanya Sebuah Mimpi

Untuk kawan X yang tak pernah lelah

Melangkah di jalan ini
Dirimu selalu habis terbagi angka tak terhingga
Tiada lagi tersisa darimu, begitu juga waktu
Pun untuk dirimu sendiri

Sejuta harap menarikmu ke ruang-ruang diskusi
Realitas menguras energi tiada muara
Kamar berdebu, komputer dan asap rokok
Tumpukan buku-buku dan segudang benang kusut

Melangkah di jalan ini
Menarik nafas seakan menjadi sebuah kemewahan
Belum lagi terhembus sempurna, telepon genggam memaki kebisuan
Detik ini menantimu di ruang yang lain

Waktu sekan tak pernah bisa kau taklukkan
Sekeranjang persoalan merengek, memintamu menjadi bapaknnya
Malam semakin larut untuk bersantai, tidur hanya sebuah mimpi tak terwujud
Karena esok kita harus turun ke jalan

Tak henti kau semaikan janin-janin kebebasan
Kau ajarkan bagaimana merebut hak-hak terampas
Kekuasaan di tangan kita, dari Tuhan
Selalu dan hanya itu dimulutmu

Suatu waktu, ingin kau enyahkan semua kesibukan
Mengunci diri dan mematikan handphone
Sekedar menikmati gairah birahimu yang tertahan
Namun, semua orang serentak memaki, Kau Liberal, Kau Pendosa, Kau Komunis!!!

Giessen, 9 Oktober 2007

Friday, October 5, 2007

Dibungkam Mati

Menginjakkan kaki di selangkangan Adriatik
Tanah air dirundung duka
Kenangan berdarah, kenangan memalukan
Ketika berpikir menjadi sebaris pemberontakan
Kuterima kabar kematianmu
Dalam sebuah sel tanpa cahaya

Pergilah sang guru kehidupan
Sepatu laras mendorong piring sup di sela jeruji
Bau penjara selalu membuatmu bergairah
Meski didera lecutan rasa sakit
Mulutmu tetap mengocehkan Andemo de Revolution
Hari sudah ditentukan...dalam satu hentakan, kematian datang membungkammu

Mengenang tragedi berdarah 1965, untuk jiwa-jiwa yang kuat dalam penjara Orde Baru

Venezia, 30 September 2007

Dalam Bau Lautan

Kuhirup dalam-dalam bau lautan
Adriatik menawarkan gairah tak berbentuk
Puncak Sant Marco menjulangkan sejarah umat manusia
Perdamaian, perang, cinta dan pragmatisme agama

Kuhirup dalam-dalam bau lautan
Palazzo Ducale dikerubuti burung dara
Tak ada tempat untuk sendiri, penuh dan berisik mencipta jarak
Ah..Jarak memang selalu menegaskan kerinduan

Kuhirup dalam-dalam bau lautan
Sudah begitu lama sejak Losari ternoda polusi
Pantai yang memberi begitu banyak ruang pribadi
Sunset yang indah dan selimut malam yang misteri

Kuhirup dalam-dalam bau lautan
Membadai seribu kata-kata, pucuk angin sujud dan gemetar
Telah kupastikan sebuah kemenangan
Pada hidup yang selalu menampar kecengengan

Kuhirup dalam-dalam bau lautan
Ada yang misteri dari air mata
Haru, suci dan bergaram, begitupun dengan air lautan
Mungkin mereka, saudara sekandung dalam semesta tak berbatas

Kuhirup dalam-dalam bau lautan
Saat kata-kata membatasi makna terpendam

Palazzo Ducale-Venezia Italy, 30 September 2007

Monday, October 1, 2007

Patah

Telah kau patahkan dalam sekejapan mata
Dahan yang selama ini menopangmu
Dirimu bagai daun, lemah menanti hujan
Haus dan menengadah

Perlahan kau dekati matahari
Membisikkan kalimat kecemasan
Mataharipun menangis dan terbenam
Sebab telah kau curi bulan dari meja riasnya

Kaupun mengharap embun pagi mengasihimu
Namun pagi terlalu sibuk untuk mempedulikanmu
Siang menggantikan pagi, juga lewat tanpa tersenyum
Tinggallah sore setia menjengukmu, meski tak kau pedulikan sedetikpun

Salzburg-Austria, 29 September 2007

Wednesday, September 26, 2007

Toilet

Tak ingin kubuang kemewahan kecilku setiap pagi
Di dalam sebuah kamar kecil bertuliskan toilet
Disini kuikhlaskan semua hidupku, puncak pencapaian kemanusiaan
Tak ada kebohongan, semua begitu telanjang dan terbuka

Bunyi air dan harum parfum ruangan
Menjadikan aku tenggelam menikmati cengkeraman tenaga gaib, magis dan senja
Eksitensi tak terjamah, absurd juga sejati
Kasat mata namun memupuk kekuatan sang jiwa

Diluar hujan begitu deras
Udara mendekati titik nol derajat
Aku tetap melanjutkan istirahku
Sementara senyummu belum juga datang

Giessen, 27 September 2007

Senyummu Tak Datang

Ketika cinta selalu punya cara untuk membunuh

Angin kecemasan membadai dalam sendiriku
Senyummu tak datang hari ini, juga kemarin
Dibawa pergi arus pasang tanpa samudera

Terbang sudah segala yang tersisa
Menjelma harapan tak berbalas
Ketika rindu begitu menakutkan

Halte bus RathenausStr, 26 September 2007

Tuesday, September 25, 2007

Pagi dan Sang Hidup

Sang hidup didera kebimbangan
Harus terus atau kembali
Ketidakpastian selalu berjalan menemani masa depan
Masa lalu selalu lebih nyata, meski terluka
Memilih, memang sulit, pekerjaan para penghuni khayangan
Seperti langit, memilih siang dan malam bergantian
Dewa bumi, selalu memilih sendiri musim yang bersamanya

Sang hidup kecewa pada waktu
Waktu tak pernah mau menungguinya
Tak sedikitpun menoleh, melintas dan membuatnya semakin gelisah
Seperti gelisah sang hidup yang memuntahkan badai
Malam selalu datang menawarkan perlindungan
Namun rindu, selalu berhasil merebut gelap dari malam
Esoknya, matahari ragu-ragu memanjati tebing langit di subuh hari
Namun pagi datang membawa pesan dan marah-marah

Mengapa masih kau kenakan selimut kebimbangan
Nasib tak menunggui kemurunganmu
Pagi yang kubawakan untukmu adalah sebuah makna
Dalam perjalananmu kelak, jangan pernah mau menjadi Koma
Jadilah serupa Titik, tegas, singkat dan selalu mengakhiri
Titik selalu mengawali huruf, bahkan Titik mengawali penciptaan
Ketika semesta masih kosong, Titik telah menjelma sejuta galaksi
Seluruh wajah kehidupan adalah penjelmaan dari Titik

Hari esok tak perlu membuatmu takut
Ketakutan selalu menistakan perubahan
Tegakkanlah dagumu, tunduk adalah sebentuk kepengecutan
Selebihnya adalah sejarah yang berulang
Insan takkan bisa dinistakan,
Takdir telah membawanya bersama kelahiran pertama
Hidup selalu mendaur ulang nyawanya, memberi makna, hingga tiada berakhir
dan Percintaan selalu menolak kematian

Giessen, 26 September 2007

Monday, September 24, 2007

Di Altar Ruperto Carola

Duduk di depan kafe tua Gasthaus Zum Mohren
Segelas cognac cukup mengusir masuk anginku, maklum anak tropis
Seorang musisi jalanan memainkan Gavotte En Rondeau punya Bach
Ingat waktu belajar main gitar dulu, aku tetap tidak mahir-mahir

Sedikit melempar pandang ke Selatan, kastil tua Heidelberg seakan berdiri bersaksi
Bayang Ruprecht, Ludwig, Ott Hainrich melintas samar, lalu hilang berganti perang
Kastil, Tsar Russia, imperium Austria dan Prussia, persekutuan melawan Napoleon
Cognac sudah kuteguk habis, Rondeau berganti Badinerie masih dari Bach

Angin musim panas membuatku sedikit demam
Bangunan khas Gothic yang tua, satu persatu menyita perhatian
Sesekali kujepretkan kamera, mungkin aku ingin punya rumah seperti itu
Tapi seperti biasa, tak pernah nyata, hanya sebaris puisi yang menjadi

Memasuki bagian kota sebelah Timur
Patung the Corn Market Madonna masih setia menggendong anaknya
Disela-sela dadanya tersisip sebuah panah, sang anak menggenggam panji suci
Suci dan perang memang kata yang senang bersenggama, perang suci

Setelah hilir mudik di Heidelberg Brucke
Kulepaskan diri dari keramaian, lengang, langkahku terhenti di Alte Aula
Ornamen tua gaya Baroque seakan menegaskan sakralisme abad purba
Di bagian depan berdiri sebuah altar yang begitu angkuh

Bayanganmu seakan nyata berdiri di atas altar
Ahh andai saja dirimu disini,
Tentu kau bisa memilih, kupeluk dirimu di Heidelberg Brucke
Atau di altar Ruperto Carola

Heidelberg, 23 September 2007

Sunday, September 23, 2007

Tak Lagi Mengganggumu

Mengapa masih mengurung diri
Pungutilah serpihan-serpihan bahagia tersisa
Walau tak mampu menyentuhmu
Sedihmu selalu hadir di cakrawalaku

Kusediakan sejuta kata untukmu
Sekedar menghiburmu dari penat seharian
Pun kau campakkan di sudut malam
Subuh selalu memanggilnya untuk kembali hidup

Meski tak lagi kan ku usik samadimu
Ruang hampa tak sanggup menghapus rambat suara
Biarkan kata menemanimu...disana, ditempatmu,
Tetaplah tersenyum, karena senyummu selalu menggulung senja
Sinar matamu selalu bercahaya, melebar dan seenaknya
Hiduplah kembali Fraulin...Karena kau tak akan pernah sendiri

Antrian masih panjang untukmu
sekedar untuk menuliskan nama
di Waiting List

Heidelberg, 23 September 2007

Thursday, September 20, 2007

Dibatas Airmata

Engkau yang mengurai airmata, dalam kubang kesedihan yang menyiksa
Engkau kini sendiri dalam kesedihan tuntas
Lihatlah di cermin, dikaulah keindahan tak terjamah
Selalu saja dirimu murung di dalam istanamu
Kau lepas seluruh keceriaan bunga-bunga pagi hari
Dan menghampiri kepiluan senja
Di tengah padang kesendirian

Percintaan seharusnya tidak mebuatmu lara
Memasung diri pada rangkaian duri mawar
Kau jelmakan diri menjadi taman tak terawat
Kau biarkan setiap musim yang singgah mengganggu ketenanganmu

Lihatlah, ribuan bunga menanti kebangkitanmu
Kolner Dom dan Santa Gross Martin semakin nampak tua tanpamu
Menaranya yang angkuh melambai-lambai memanggilmu
Burung-burung merpati berpuasa untuk kedatanganmu

Kenakanlah pakaianmu yang terbaik
Melangkahlah dengan anggun
Pesta ini sedang menanti ratunya
Perhelatan akbar menentang kesedihan

Lihatlah bagaimana dunia baru akan tersenyum
Parade kegembiraan dipayungi sang langit
Siap untuk mengarakmu
Menuju ke oase kehidupan
Dimana tak ada lagi airmata

Köln (Cologne), 20 September 2007

Sunday, September 16, 2007

Angkuhmu Menjunjung Cakrawala

Aku berusaha menggapaimu
Ketika kau melambung ke puncak batas langit
Melampaui menara utara KölnerDom, pun selatan
Terus, terus, jauh menitik di cakrawala

Kucari dataran yang lebih tinggi dan terbuka
Langkahku dihadang lebarnya sungai Rhein yang makin menua
Tiada putus asa kuseberangi Hindenburg Bridge
Tak terkejar, tetap tak bisa kugapai

Angkuhmu tetap menjulang,
Mengkristal di langit cakrawalaku
Ketika lonceng Gross Santa Marthin berdentang
Aku harus pulang, bisik angin musim panas

Mungkin kau akan turun ke bumi
Nanti...
Ketika kesepian mengurungmu di atas sana
Atau ketika hendak ke toilet

Köln, 15 September 2007

Thursday, September 13, 2007

Berlarilah Bersamaku

Berlarilah bersamaku
Disepanjang waktu ketidakmengertian
Tak perlu kau pacu langkahmu
Sebab mentari masih setia menanti kita

Berlarilah bersamaku
Akan kubawa kau mengitari padang kebebasan
Hiruplah dalam-dalam bau rumputan
Aromanya selalu menawarkan keabadian

Berlarilah bersamaku
Karena aku tak tahu jalan menuju rumahmu
Hanya sepenggal ingatan tak bertenaga
Serta aroma segelas jeruk dingin di tenggorokan

Berlarilah bersamaku
Tinggalkanlah semua kebosananmu dirak-rak kantor
Lipat disela tumpukan buku-buku dan bunyi printer
Sebab kebebasanmu menanti setelah tikungan ini

Berlarilah bersamaku
Ketika kau tak begitu sibuk
Disaat kau merindukan kegilaan masa kecilmu
Ketika aku dan kau masih bisa berlari

Giessen, 13 September 2007

Sajak Ingkar

Dulu AKU
utuh
menjadi
yang KAU inginkan
puluhan
ratusan
ribuan
tak berhingga

Kini
tak mau lagi
tunduk
Tinggal aku
hanya aku
untuk DIA

Giessen, 13 September 2007

Sang Kolor dan Orasi Kebebasan

Akulah wajah seluruh kehidupan bumi
Kutahan dingin dan panas dari tubuh-tubuh manusia
Peluh, daki, rasa asin dan percikan bakso aku serap
Kuendapkan seluruh keinginanku untuk menjadi celana

Akulah bintang seluruh jagad semesta
Kusimpan semua rahasia dalam kedalaman jiwaku
Artis, presiden, buruh, sopir angkot dan pelacur mencariku
Kusumpal mulutku, agar tak menjadi tukang gosip

Akulah saksi hidup semua kebohongan manusia
Karena akulah yang terakhir kali lepas dari tubuh mereka
Ketika berselingkuh mereka dengan kegelapan
Karena akulah yang pertama kali dikenakan ketika telepon berdering
Isteri cemas, anak butuh susu

Akulah simbol segala simbol
Simbol kejantanan
Simbol kebirahian
Aku dibakar, disobek-sobek, diinjak-injak

Kini aku tak mau lagi
Tak akan lagi jadi recorder kebohongan
Kalian terlau mengekangku
Terlalu merendahkanku

Biarkan aku BEBAS
Seperti langit yang tak pernah mengekang pelangi
Biarkan aku MERDEKA
Bagai sederet huruf didalam baris sebuah kata
Biarkan aku menjadi KUAT
Laksana karang menahan ombak bergulung gemuruh
Biarkan aku memiliki MAKNA
Persis seperti air berkawan awan yang menjadikannya hujan

Belajarlah dari hidupku
Kalian telah mengurungku berabad-abad di sel-sel selangkangan yang pengap
Namun tak bisa kalian belenggu kerinduanku akan kemerdekaan
Aku hanyalah selembar sampah tak berarti, namun kebebasan tetaplah harga mati
Pengekanganmu hanya menjadikanku seorang pemberontak

Kembalilah ke rumah,
Hiduplah tanpa kepalsuan
Bebas, Merdeka, Kuat dan Bermakna
Karena ...hanya itulah yang menyerupai Sorga
Dimana malaikat dan bidadari menyudahi tugasnya
Ujung segala perjalanan


Hiduplah kalian tanpa aku,
Tanpa kolor
Inilah pesanku yang terakhir
Setelah kemunculan perdanaku bersama Superman
Aku ingin bebas sekarang... istirahat

Giessen, 13 September 2007

Kenang dan Lawan

Mengenang 3 tahun kematian Munir

Bungkamlah semua yang berteriak
Kurunglah semua yang berseliweran
Kucaci sebuah tembok di lorong kegelapan
Mengenang tidak lagi cukup

Tembok itu masih bisu
Membatu, diam dan berbau lumut
Di dindingnya terpahat sebuah manifesto
Kenang dan Lawanlah!!

Giessen, 7 September 2007

Friday, September 7, 2007

Bisumu Menjelma Kata-kata

Mengapa tak kau balas satupun pesanku
Memilih bisu dan memendam marah
Katakanlah… mungkin marah akan lebih baik
Kejujuran selalu merambat melalui marah

Mengapa tak kau pecahkan keheningan ini
Mendera diriku dengan sejuta pertanyaan
Bicaralah.. sepatah dua dari jauh
Seperti langit berbicara pada pelangi yang meninggalkannya

Ketika bus berhenti di halte Berlinat Platz
Bisumu telah menjelma kata-kataku

GieĂźen Germany, 7 September 2007

Di Suatu Waktu Tak Berjejak

Dirimu adalah bidadari di taman ini
Kau mekarkan semua keharuman senja hari
Ketika matahari mulai terbenam
Kau nyalakan lilin keabadian di gerbang hampa

Taman ini sudah lama tak berpenghuni
Angin selalu datang sebelum hujan
Mengusik kesenyapan rerumputan yang istirah
Kau bernyanyi memisahkan siang dengan malam

Seekor kupu-kupu berkunjung membangunkanmu
Geliatmu menebar aroma tak terjamah
Dengan cahaya matamu yang berpendar kuat
Kau pahat sebuah patung disudut taman

Siang datang memenuhi janji
Tupai-tupai berloncatan di dahan rindu
Daun-daun asmara keabadian berdesir dan mengayun
Tanah menggandeng tanganmu yang halus untuk bersantap

Kaulah keindahan di taman ini
Tanpamu hanya sepetak ketidakmengertian
Mungkin disuatu saat, disebuah waktu tak berjejak
Kau sudi mengundangku untuk bersanding

Lebak Bulus, 1 September 2007

Dibungkam Kebisuanmu

Kuikat diriku pada sebatang kerinduan
Aku tak mungkin merengkuhmu
Secawan cintamu telah membuatku mabuk
Namun kau berlalu tanpa menoleh

Mataku mencarimu di dinding-dinding kampus yang tua
Namun bayanganmu pun enggan melintas
Hanya seekor kelinci berlarian di taman tak bernama
Sunyi dan ragu-ragu

Musim panas eropa akan berlalu sebulan lagi
Namun aku akan tetap memaku diri
Marahku tiba-tiba saja memuncak
Tak lama, setelahnya hanya kesunyian membatu

Sehabis kuliah
Kususuri taman yang sama
Kelinci itu tak lagi nampak
Seperti cintaku dibungkam kebisuanmu

GieĂźen Germany, 7 September 2007

Tuesday, September 4, 2007

Kepada Si Kuda Terbang Maria Pinto

Lahir dari puingan masa yang berantakan
Kau melawan di tapal batas kegelisahan zaman
Kepak sayapmu seakan tak pernah lelah
Membuyarkan senyap dan ketakutan

Matamu selalu memicing ketika matahari mulai terbit
Mungkin siang membuatmu bergairah
Tapi ketakutanmu tak bisa kau sembunyikan
Karena virus flu tak hidup di suhu 16 derajat

Aku mengenalmu belum lama
Banyak yang tertinggal tapi lebih banyak yang akan datang
Tawamu selalu membekaskan kebebasan
Sebab pengekangan selalu membuatmu gelisah

GieĂźen Germany, 5 September 2007

Tunggulah


Detak waktu berjalan begitu sakit
Meninggalkan kenanganku yang sedang rewel
Bersamamu, tak banyak, tapi hampir saja membunuhku
Gemulaimu selalu memberi isyarat tak berpenghuni
Agustus mengabur di awal September
Itu berarti, aku harus pergi
Banyak yang ingin kukatakan
Namun dihadapanmu hanya diam jua yang memaku
Aku harus berbenah, aku tak mau ketinggalan pesawat

Menapaki koridor bandara, seakan bayangmu menguntit rinduku
Galaulah segala yang teratur
Terbanglah semua yang coba kutahan
Kumatikan ponselku
Bukan karena kehabisan pulsa
Tapi karena aku harus pergi
Tunggulah di Agustus yang sama
Setahun lagi

Jakarta, 3 September 2007

Harap di Ujung Entah

Mengingatmu adalah kekosongan
Sebab hari semakin sempit
Menyesakkan nafas di jantung yang berburu
Aku pergi hari ini
Untuk sesuatu yang entah
Hanya namamu ikut bersamaku
Setelahnya hanya harapan yang munumpuk

Jakarta, 1 September 2007

Pacar Jumat

Lahir dari puingan hampa
Hadirmu merambati dinding kesunyian hati
Selalu kunantikan dirimu di jalan itu
Mengintip dari balik kamar lengang
Namun dirimu tak pernah nampak
Karena kekasihmu selalu menjemput sepulang lelah
Hanya aromamu tertinggal tanpa busana.

Jakarta, 30 Agustus 2007

Wednesday, June 6, 2007

Ketika Matamu Berkedip

Mengenang Satu Tahun Kematian Pramoedya Ananta Toer

Gemeretak tulang pepohonan
Dingin berkelambu kabut temaram
Disaat kaki hujan menyentuh bumi
Sekali lagi terkenang aku akan congkakmu

Disaat malam begini
Kau selalu duduk menghadapi langit
Kau semburkan asap kegelisahan di depan wajahmu
Kau terkenang dan tak mau lagi menulis

Marah sudah menyatu dalam kerutan wajahmu
Batu karang selalu bersaksi akan gelombang laut
Bulan tertunduk, ketika matamu berkedip dan tak lagi membuka
Kematian merangkuhmu, disisinya berdiri keabadian yang tersenyum

Bandung, 30 April 2007

Isyarat Tak Terbendung

Deru nafasku berlari mengikuti keterburuanku
Brandenburg Tor tertinggal jauh dibelakang
Ketika melintas engkau di Charlottenburg Church
Kakiku sudah menapak di Checkpoint Charlie

Sedikit lagi,
Hampir saja kucium engkau di pipimu
Sebab tanganmu selalu menandakan isyarat tak terbendung

18 April 2002
Berlin

Keagungan Berjejak Darah

Lonceng gereja berdentang sepenuh jiwa
Usia berabad-abad tak membuatnya ringkih
Kagum sempat melintas di kepala
Tapi darah seolah berceceran disetiap dinding yang congkak

Apalah makna semua kekokohan dan keagungan ini
Di bawahnya tertindih para arwah pekerja paksa
Merindukan surga, yang datang tirani
Keagungan religius selalu berjejak darah
Islam, kristen, hindu, dan semua yang bertuhan

Seorang kawan yang muslim merabai pintu gereja
Terkagum-kagum dan khusyuk
Sambil mendongakkan kepala
Mulutnya berbisik ....Subhanallah

Aku beranjak pergi sambil bergumam
Haleluya...... darah dibayar darah!!!


13 April 2007
Marburg-Germany

Rindu Dalam Dingin

Aku merinding diterpa rindu
Dua angsa berenang di sebuah kolam tak bernama
Kastil tua diliputi kabut tipis
Suhu udara dibawah nol derajat

Kedinginan mungkin membunuh manusia
Namun kerinduan selalu pasti menghilangkan nyawa
Pelan namun pasti, menyumbat jalan nafas
Dan terbanglah belenggu nirwana
Menujumu, menyulut rokok diatas balkon menikmati City Light

9 April 2007
Rauischholzhausen-Giessen

Kemerdekaan Hanya Utopi

Memasuki halamannya yang rimbun
Udara dingin mengusik kenangan
Aku rindu warna dan panas tropis
Namun aroma wine menarikku kembali

Kecintaan akan kebebasan, menjadi candu tanpa penawar
Tanah yang sedang kuinjak menawarkan gairah
Aku menikmatinya, kuhirup nafas habis dan dalam
Sebab kemerdekaan hanyalah Utopi di kampungku

4 April 2007
Rauischholzhausen Castle-Germany

Tuesday, February 27, 2007

Keyakinan Tanpa Kitab Suci

Aku menggenggam sebuah keyakinan
Di atas tumpukan kemunafikan agama
Akulah agama itu, akulah kebenaran itu
Menari sesuka hati, bebas merentang cakrawala

Aku menggenggam beribu keyakinan
Di atas sempitnya ruang yang disediakan agama
Akulah keyakinan itu, keyakinan tak terbatas
Dan Aku melawanmu karenanya!!!

Aku menggenggam sejuta keyakinan
Menjulang melampaui ajaran, tak bermazhab
Akulah mazhab itu, tak akan habis diajarkan
Dan tunduklah pada agama baru, tanpa kitab suci

Bandung, 27 Februari 2007

Friday, February 23, 2007

Aku Telah Pergi

Untuk Cak Munir

Badai mana lagi yang tak pernah kita tantang
Setapak-demi setapak kita lawan kegelisahan semesta
Disetiap tikungan, tirani selalu melantunkan tahlilan kematian
Pedang karatan merenggut pendekar satu-satu

Pagi kita adalah ketersiksaan yang buta
Deru asap dan jeritan knalpot kota Jakarta
Bersimbah peluh kekuasaan korup
Tak ada lagi tersisa selain kemarahan tertahan

Bungkamlah semua yang tercerai
Tak kulihat matamu meneriakkan kebenaran
Keadilan hanya tinggal dongeng anak sekolahan
Lucu, kering dan membuat tidur

Kantor demi kantor berdiri pongah dan egois
Pengadilan demi pengadilan memastikan kekalahan
Meloncat kita ke atas batu imitasi kemapanan
Korban berjatuhan menegaskan kepecundangan

Kata apa lagi yang hendak tersembur
Teori rumit mana lagi yang hendak kau hamburkan
Burung pelatuk tak belajar dari kerasnya pohon
Poster, spanduk, kamera, plakat hanya kecengengan yang butut

Musim hujan tiba
Ladang belum di olah
Cacing tanah sudah mendahului
Kemalasan adalah kematian di jalan ini

Kenapa tak lagi berlawan
Masih percaya pada lobi dan intrik borjuasi
Pada mesin-mesin kekuasaan berpelumas senjata
Merenggut kawan satu-satu, merenggut pendekar di ujung Batu

Aku berjalan di sisi sebuah kuburan cahaya
Jauh dari hiruk pikuk kosmos kebohongan
Damai menunggui pohonnya yang ditanam semusim yang lalu
Di nisannya tegas tertulis: Aku telah Pergi!!

Makassar, 4 September 2005

Ibu di Ujung Pelangi

Tak habis kureguk cawan kedamaian
Kau sediakan di ujung malam yang berdebu
Aku pulang membawa kegagalan
Kau tampar aku dengan senyum memaafkan

Aku enggan merekammu dalam kalimat
Seperti takutku pada malam di ujung petang
Aku malu melukismu dengan dawat
Seperti maluku pada ciuman pertama di awal renung

Kau pasti ingat derita yang kau ajarkan
Dengan derita itu kami ciumi kau sepanjang lelah melanda
Aromamu seolah tenaga mistis yang menyembuhkan
Tak pernah kau gentar walau kadang meirintih sejenak

Bu ajarkan aku lebih banyak lagi
Ajari aku memiliki baja pusaka tanpa karat
Tunjuki aku arah matahari terbenam yang pernah kau datangi
Ah, kau hanya tersenyum, dan senyuman itu mengajarkan aku segalanya

Bu lihatlah, anakmu pulang
Tak ada keagungan disisiku
Hanya kegagalan bersimbah retak
Tapi lihat senyumku Bu,
Aku tersenyum sepertimu
Yakin, tanpa ketakutan!!!!

Bandung, 15 Desember 2005

WANITA SEPANJANG ZAMAN

Saat ini aku ingin Engkau mengunjungiku
Di pembaringan jiwa ini
Hatiku pilu terluka
Engkau telah menyayatkan pedang keindahanMu
Lewat tawa riang seorang bocah dalam gendongan bundanya
Ingin aku rampas senyumnya
Tetapi melecut begitu saja
Diantara daun-daun keriangannya
Karena senyuman itu milik kalbu ibunya
Dinda, Engkau begitu senang membuat kekalahan
Namun begitu saja engkau hadirkan senyumMu
Lewat rasa sakit itu

Kekasih,
Aku melihatMu terpaku
Ditubuh teratai putih
Bertebaran ditengah danau
Menari perlahan ikuti irama angin kecemasan
Ketika senjaMu merelakan dirinya dipeluk lembut sang malam
Aku diseberang sana
Dipisahkan jalan tak berjarak denganMu
Kehilangan hasrat, semua punah
Seperti rama-rama musnah
Dimakan nyala cahaya
Dinda,
Sekejap menatap wajahMu
Dalam waktu ketidakmengertian
Dalam ruang ketiadaan
Setelahnya itu hanya ketersiksaan panjang

Makassar di April yang hujan
Turun menyuburkan kebun mawar di padang jiwaku
Ketika senja mengulum senyumnya
Kulihat tubuhMu berloncatan gesit
Diatas buih ombak Losari
Menghempas pantai Butta Karaeng
Menari selembut kain sutera Wajo
Melambai ditiup anging Mamiri
Jemariku gemetaran merekam syahdu keindahanMu
Dalam bait-bait puisi
Hujan menusuki selaput halus hatiku yang kesepian
Dan meninggalkan tetes darah rindu tiada mengering
Engkau kekasihku abadi tanpa tanda
Karena kedipan di ujung mataMu
Tak bisa ditiru dan dihadirkan siapapun
Engkaulah wanita sepanjang zaman
Tiada berawal dan tiada berakhir
Wujud eksotisme dunia Timur
Dikaulah wujud kesempurnaan
Yang menitis pada jasad perempuan bumi
Hanya KAU lah yang Kucintai
Wahai Kekasih Jiwa Abadi
Puncak pencapaian Cinta Abadi
Sebab kesempurnaan cintaku padaMU
Hanya ada dalam kematian
Disini di atas sajadah!!!

Semua Masih Disini

Kulewati jendela itu, berjeruji kegelisahan
Di dalamnya dulu kau duduk dan terus mengoceh
Temboknya belum lagi di cat, berwarna marah
Sekilas masih kulihat kau mencibiri kecurangan

Sejuta rumah telah kau bangunkan buat kami
Tak bosan dulu kita bermain dengan tirani yang menawarkan maut
Di halamannya kau tanami penolak bala kebodohan
Kau pagari dengan cinta dari cawan bening tanpa tandingan

Tak habis kami reguk cawan kedamaian
Kau sediakan di ujung malam yang berdebu
Kami pulang selalu dengan cerita kegagalan
Kau tampar kami dengan canda memaafkan

Aku gemetar merekammu dalam kalimat
Seperti takutku pada malam ketika kau pertama pergi
Aku malu melewati ruang kerjamu
Seperti maluku pada malaikat kala menjemputmu

Kau pasti ingat tanah dimana jurang mengapit mati
Dengan tanah itu kau ajari kami berlari sepanjang lelah melanda
Gelegar suaramu seolah tenaga mistis yang menyembuhkan
Tak pernah kau gentar walau kadang meirintih sejenak

Cak ingin kukatakan ajarkan aku lebih banyak lagi
Ajari aku memiliki baja pusaka tanpa karat
Tunjuki aku arah matahari terbenam yang pernah kau datangi
Ah... kau hanya tersenyum, dan senyuman itu mengajarkan aku segalanya

Cak lihatlah semua masih disini
Rumah, halaman tanpa kebodohan, pagar cinta dan cawan kedamaian kita
Cak lihatlah.. kami semua masih disini
Walau dihantui jalangnya keterpisahan
Cak lihatlah .... semua sepertinya masih disini
Walau hanya kegagalan bersimbah retak
Tapi lihat senyumku Cak....
Aku tersenyum sepertimu
Yakin.... tanpa ketakutan!!!!

Bandung, 31 Mei 2006

Jangan Takut Untuk Pergi

Gelap menodai sehelai karpet diujung senja
Percikan kesendirian menari tanpa permisi
Gelap menjalari sesuatu yang ingin menjadi
Karpet terbawa angin, kedinginan menelan gelisah

Terjal tak terdaki di mata yang putus asa
Tebing menjulang menciutkan niat
Apa guna nyali tanpa rindingan di tengkuk
Aku butuh tumpangan malam ini

Sepi bagai badai mendorongku ke tepi tebing
Nyali ciut tanpa tantangan, biru melebam subuh
Kosong membunuh siapa saja yang bangkit
Siapa berikutnya yang akan merasuki perasaan

Luka apa lagi yang akan dia tinggalkan?
Perih bagaimana lagi yang akan mencabik rasa?
Ahhh wanitaku, jangan takut untuk pergi
Aku toh akan kembali berdiri, walau goyah menerawang ruang

Bandung, 16 Pebruari 2006

Jangan Memulai Lagi

Jangan pernah memulai lagi
Disini hati terlalu lelah untuk bertarung
Sejuta pengkhianatan merobohkanku
Di satu sudut indah tempat malaikat sering duduk merenungi tugas

Tak ada keberanian tersisa sekarang
Lebam mengoyak kayu menjelma arang
Aku ingin meneyeberangi danau itu
Dimana kabut tipis begitu cantik menari di ujung senja

Lihatlah kedalam sini
Perabotan yang usang karena gelora remaja
Tinggal kesadaran terduduk kesepian
Di atas kursi bermalas-malasan dalam udara yang dingin

Engkau tak pernah menjengukku
Karena terlalu asyik bermain di tepi kali kita dulu
Kerinduan menyelinap diam-diam tapi ketahuan
Lari dia secepat kilat, menyisakan pecahan perih dengan senggolan kecurangan

Jangan Pernah memulai lagi
Belum bosankah engkau dengan mainanmu yang menjemukan
Rasa belum lagi usai bersemadi memulihkan luka
Setelah kekalahan demi kekalahan tertusuk beling

Tak ada cinta tersisa kini
Hanyut dalam sungai terbawa arus menuju muara kebekuan
Tinggal diri angkuh menutup rapat gerbang angin
Menjadi penjaga pada rumah yang tak berpenghuni

Kamu tak akan pernah mampu menerangi
Karena cahaya muak pada dinding malam tertutupi awan basah
Tak pernah bulan menyembul pada badai kepengecutan
Cintamu tak berarti di dalam kemanusiaan yang telah mati

Jangan pernah memulai lagi
Berbisik hatiku yang sedang terluka
Padahal baru saja darahku berdesir
Ketika matamu mengerdip manja dan angin membawa harummu ke arahku

Bandung, 30 Juni 2006

Pernah Sekali

Pernah sekali, aku melihatnya dalam sebuah perjalanan
Dipikulnya derita dirinya melewati rel-rel ketidakpastian
Kenangan bahagia selalu dihadirkannya sebelum lelap menjemput
Dalam tidur ia tetap terjaga untuk menemu fajar esoknya

Pagi buta hadir tanpa permisi, menebar kegetiran
Langit merah di ujung ufuk mungkin lelah menemani langit
Udara berhembus enggan dalam sisa kantuk yang terseok air
Kisah hidup dimulai lagi dalam sebuah lembaran kertas buram

Pernah sekali, aku melihatnya dalam sebuah perjalanan
Air mukanya hitam, dalam kepedihan yang bercahaya
Pernah sekali aku melihatnya, dalam sebuah etalase kota Jakarta
Setelah itu ia hilang bersama Tuhan

Pernah sekali, aku melihatnya dalam sebuah perjamuan malam
Jiwa laparnya mengharapkan kekasih menjemput melewati mabuk
Kesenangan hidup menyuguhkan kepedihan sang hampa
Melewati karpet merah terbentang menuju altar senja kematian

Malam hari berlalu tanpa kesan, menusuki kenyataan biru
Tanah basah di bawah marmer hijau, selalu riang menemani air
Api menjalari tubuh sempoyongan menyeruak semak-semak kemewahan
Kisah hidup berakhir sekali lagi, dalam sebuah cawan gemerlap retak

Pernah sekali aku melihatnya, dalam sebuah perjamuan malam
Api di matanya menebar kegelisahan tak menemu damai diujung pelangi
Pernah sekali aku melihatnya, dalam aliran comberan kota Jakarta
Setelah itu ia hilang bersama tikus kumuh menuju jantung kota

Pernah sekali aku melihatnya dalam sebuah perjalanan
Pernah sekali aku melihatnya dalam sebuah perjamuan malam
Pernah sekali aku menyetubuhinya di jantung kota Jakarta
Setelah itu aku buta dan tak dapat melihat lagi

Bandung, 30 Juni 2006

KEBODOHANKU

Persoalanku,
Bukanlah karena aku tak berpunya
Hidup dalam sistem negara yang korup
Melompat dari satu anarki ke kekejian yang lain

Penyakitku,
Bukanlah karena para dokter lebih memilih kemewahan
Tercerai dari hidup higienis ala eropa
Meringkuk dari malaria hingga flu burung

Gelisahku,
Bukan karena kekuasaan yang tiran
Tertembaki oleh serdadu yang mengidap gangguan psikologis
Tercekik dari sel interogasi hingga impunitas

Marahku,
Bukan karena industri asing menyedot pundi pundi subsidi
Terperangkap dalam kelaparan di tengah lumbung padi
Menarikan kesengsaraan diatas belenggu hutang negara

Persoalanku
Penyakitku
Gelisahku
Marahku
Melampaui itu semua, lebih parah dari segala yang terkatakan

Persoalanku
Penyakitku
Gelisahku
Marahku
Jauh lebih bodoh, karena aku mencintai negeri ini!!!


Bandung, 15 Oktober 2006
Terinspirasi dari “The Farewell Party” oleh Milan Kundera

Ayat Beralkohol Tiga Puluh Persen

Kaki gerimis jatuh begitu malas
Oktober hampir saja berhenti
Di depan sebuah warung kopi
Di pojok nafas yang penuh sesak

Detak jantungnya cepat tak berkata
Bahasanya adalah makna bungkam
Kerongkongannya hendak berkata
Cinta kembali dikalahkan

Kilat menyela dengan sigap
Cahaya sekejap dapat memadamkan sinar abadi
Ketika bau tanah merasuki jiwa manusia
Seribu dusta tercipta dari mulut beraroma ayat suci

Ayat-ayat beralkohol tiga puluh persen
Memabukkan, membius dan kampungan
Selalu didagangkan di pasar-pasar
Antri membeli bahan pokok

Kelak di sebuah pesta yang gemerlap
Lihatlah di atas pelaminan
Sepasang mempelai tersenyum palsu
Sebab mabuk setelah dinikahkan imam

Imam itu baru kemarin meledakkan bom
Berjuta cinta mati di luar ruang pesta
Aku berdiri memandang ke dalam
Aku baru saja diledakkan oleh persekongkolan curang.

UNTUK 27 JULI

Pada tanggal yang sama diruang yang sama
Kepulan asap merah membakar banteng merah,
delapan tahun yang lalu
Tanggal yang merah, bulan yang merah, tahun yang merah
Api yang merah, ludah yang merah oleh darah
Kecurangan yang merah!!!!!

Anarki, eksistensi, kekuasaaan, pemerkosaaan
Saling bersetubuh dalam jilatan marah yang angkuh
Sang banteng sekejap tersungkur, Namun sejurus bangkit lagi
Mengalami satu kematian ke kematian yang lain dari tahun ke tahun
Bangun dia, marah, dendam terpancar dari mata yang merah
Mendengus ia lari secepat mungkin
Menghambur ketengah puingan masa yang putus asa
Dihancurkannya segala yang ada seketika ia pun mengada

Anarki hanya melahirkan anarki baru
Pohon dendam berbuah dengan subur di atas tanah yang merah basah
Kekuasaan telah menjadi ibu kandung kekerasan
Negara yang angkuh, negeri yang merah
Aahhhh sudahlah terlanjur merah, Merahkanlah lagi

Terlanjur hancur, hancurkanlahhh lagi
Tak sanggup kuangkat pedang
Mataku tertumbuk antrian minyak tanah
Jiwaku menabrak dinding sekolah yang mahal
Kepalaku terbentur kamp militer yang angkuh beku
Tulangku remuk dilindas gedung-gedung yang terbuat dari kertas dollar amerika
Perutku dikeringkan para tengkulak di pelosok kampung


Aku harus bangkit, tapi bukan untuk marah seperti sang banteng
Kuacungkan pedangku ke atas kepala, kutahankan segala luka
Kutatap matahari, kuteriak pada langit
Runtuhlah kalau kau ingin runtuh,
Bakarlah kalau ingin kau bakar negeri ini!

Tapi ingatlah di bawah kolong langitmu
Dibawah terik cahayamu
Ada juga anak-anak cinta yang telah dibelenggu anarki
Anak-anak cinta yang selama ini bersembunyi di semak belukar
Anak cinta itu ngumpet dibawah tanah yang berdarah
Lakukan apa saja tapi jangan sentuh mereka
Atau
Atau
Apa??
Ahhh tidak, tenagaku begitu kecil dan lemah untuk menentangmu
Buatlah sesukamu saja!!
Mungkin kekerasan memang satu-satunya jalan keluar!!!
Cihhhhhh!!!

Surat untuk Malaikat Maut

Puisi Untuk Munir, ketika tanahmu belum lagi kering setelah setahun

Wahai malaikat kematian yang bertahta di kegelapan
Kenapa tak lagi kau cabut nyawa kawan-kawan kami??
Mengapa kau mengunci diri di balik jeruji keterasingan
Berdiam diri dan malas bekerja.

Atau kamu ingin mengundang kami ke rumahmu
Lalu kau suguhkan kami minuman dan hidangan beracun
Dan dalam sekali sentakan kau tutup seluruh hidup kami
Jangan… jangan begitu… terlalu enak bagi kami

Terlalu enak jika bisa mati bersama
Terlalu enak jika akhirnya bisa berkumpul di neraka
Di alam sana bisa saja kami pengaruhi Tuhan untuk memecatmu
Dan namamu hanya akan tinggal sederet huruf yang lucu dan kering

Tanah belum lagi mengering setahun yang lalu
Daging belum lagi habis disantap cacing tanah
Tulang belulang masih putih utuh dan bercahaya
Gema belum lagi surut ketika puisi ini tercipta

Kenapa kau tutup wajahmu
Ketika suatu saat di tepi sebuah sungai tak bernama
Kita duduk menghadap ke sebuah tebing berwarna jelata
Tubuhmu gemetar ketika kusebutkan nama seorang kawan

Merasa berdosakah kamu atas perbuatanmu setahun silam?
Kenapa kau lakukan dengan curang?
Kenapa tidak dengan tangan mu sendiri?
Kenapa harus lewat makanan dari orang-orang suruhan?

Takutkah kamu??
Sepengecut itukah kau?
Jawab!!!! hai kau yang memegang setiap nyawa manusia!!
Sebab kini kami tak takut lagi, sebab kini kami menantangmu!!

Bandung, 3 September 2005

Selamat Ulang Tahun

Musim yang melemahkan
Bagai hantu menggerogoti akal sehatku
Hari demi hari semakin buruk
Entah bertahan atau memaksa maju lalu selesai

Orang-orang datang dan pergi
Mengambil dan tak kembali lagi
Hanya kawan sejati lewat serpihan tulisan demi tulisan
Walu sepi namun punya rasa mendalam

Entah kapan bertemu kembali
Bertebaran bagai semut merah hilang haluan
Datangkah hari yang ditunggu
Janji jiwa dalam kemarau republik

Bulan Mei tinggal kenangan
Sorak sorai sayup dan menghilang
Daun gugur satu-satu
Pucuk muncul satu-satu, lambat dan malu-malu

Ritme tak juga beraturan dalam detak yang malas
Kutemui kau dalam selembar undangan pertemuan
Semoga hari mengenyahkan mereka para pencoleng di tikungan kemarin
Dan kita hidup untuk menyemai keadilan yang lebih layak.

Bandung, 12 Mei 2006

Sebuah Sirna Abadi

Sirnalah apa yang di langit dan di bumi
Sirna bersama gelora gerimis menebar dingin
Mendongak kepala ke atas mencari ujung hujan
Tak jua bersua rahasia sang langit

Awan sirna bersama hujan
Air sirna bersama uap
Tubuh sirna bersama asmara
Tuhan sirna bersama ruang, waktu dan segala yang bersifat

Cikapundung resah ketika kutulisklan sebuah bait kesirnaan
Keruhnya sirna ditelan gelombang kasar menerjang batuan
Alirannya cepat tertumpah dari ruang hampa
Ketika kata selalu mampu menampung Tuhan

Bandung, 15 desember 2005

SajaKKKKkkkk

Kenapa langit tak retak
Ketika malam menerkam terang?
Kenapa Bulan tak benderang
Ketika malam belum menjadi latar?

Kenapa Rindu tak berwujud
Ketika mata membentur keranda mata angin
Kenapa dingin tak berteriak
Ketika kemarau begitu bersahaja

Kamu tak pernah mau bertanya
Karena akibat tak akan menjelaskan sebabnya
Kita yang beterbangan di langit yang tua
Kuatkah hari menampung sejuta nafas

Kota mendadak menjadi birahi
Keruh menerawang moncong pabrik
Kotor mengalir dalam urat darah
Kelabu menjadi Aku yang marah
KkKkkKkkkKkkkkKkkkkk

Bandung 14 Oktober 2005

Rindu Sekali Waktu

Sekali lagi angin membelai derai rambutmu
Pesona keindahan menyeruak hirup nafasku
Malam seolah hendak berkata sesuatu tentang takut
Namun tak kau biarkan keraguan merantaiku

Dimatamu kesedihan masih bergayut lekat
Kau biarkan sedih itu merampas sebagian senyummu
Retak hati kau punguti pecahan demi pecahan
Kau rangkai dengan bercucuran air mata

Lihatlah malam sedang berusaha menurunkan hujan
Kau tiba-tiba kehilangan seluruh keceriaan
Kau sandarkan semua kerapuhanmu pada bahuku
Aku tertunduk pada masa laluku yang juga mendadak hadir

Kau tertidur, tapi aku tahu kau dicengkram sepi
Kau merindukan saat-saat indah yang terpahat dalam
Masa lalu memang tak banyak memberi pilihan
Angin kembali menghembus, rambutmu menampar wajahku

Hatiku berdesir hebat
Ujung rambutmu membelai karat hatiku
Kurasakan nafasmu yang halus mengguncang sendiriku
Ada yang mengiris-iris rasa, dalam dan kuat

Kau menggeliat lembut melepaskan sandaranmu
Kubelai wajahmu dengan tatapan berharap
Aku tidak ingin kau lepaskan sandaran itu
Karena aku merindukan apa yang kau rindukan

Bandung, 22 September 2006

RASA YANG INGIN

Bertarung bukan lagi,…
Hidup berseliweran tak menentu
Aku cemas, aku gelisah
Kemana hati acak ini hendak kau bawa
Kau datang begitu saja tanpa sebab
Tapi akibatnya begitu dahsyat

Bertarung bukan lagi,…
Sedari dulu, sejak melihatmu di awal kejadian
Semestamu begitu sempurna tebari langitku
Tak ada kata, tak ada bicara
Sebab kata hanya membatasi makna
Begitu angkuh, kau melaluiku tanpa menoleh
Rasa ku bergetar namun ku redam
Kulitmu yang putih bersih isyaratkan cahaya tanpa waktu

Astaga….
Kau melirikku!!!!
Kembali rasaku bergetar hebat
Namun kali ini tak bisa kuredam
Getaran itu berlari semakin cepat dan seenaknya
Berputar-putar di dada
Menyusup kejantung
Dari sana ia membakar seluruh tubuhku yang mulai melunglai
Aku tak tahan lagi
Hari ini…. Detik ini
Harus ku ucapkan
Aku mengINGINkanmu!!!!

Purnama kubuat Gemetar

Belakangan ini aku sering merenung
Berdiri di atas jembatan.. di malam yang cokelat
Dari kejauhan mengalun sebuah tembang
Petikan kecapi nelayan pesisir Takalar

Suaranya adalah tetesan keemasan
Menggelembung dan tajam
Melewati permukaan yang gemetar
Sampan sampan, cahaya-cahaya
Musik mabuk berenang dalam muram

Jiwaku…. Sebuah instrument tak berdawai
Tersentuh oleh tangan-tangan tak nampak
Bernyanyi sendiri menyambut siapa
Sahut menyahut dalam kesendirian
Bergetar dalam bahagia yang mencolok

Andai bisa kusongosng bidadari
Menebar jutaan lilin alit
Purnama pun kubuat gemetar
Tapi….
Adakah yang mendengar???

Takalar, 20 September 2002

Podium di Sudut Neraka

Dimanakah rakyat?
Dimatamu rakyat tak pernah eksis
Kau para penguasa, presiden, menteri, dewan, hakim
Tak ketinggalan para cecunguk preman, mahasiswa, pengusaha

Dan kalian semua yang mengaku sebagai pengerah sejarah!!
Sebagai pahlawan kusuma bangsa!

Jutaan cacian menjadi hiasan negeri
Berseliweran disemua media
Tak ada cinta dipentaskan oleh TV
Sinetron sampah masuk kerumah-rumah

Kesenjangan, oh anarki budaya
Rakyat tak perlu diwakili
Rakyat Cuma ingin tenang
Buat cari makan, cari sehat dan cari pintar

Rumah ini telah menjelma neraka
Aku naik ke podium dan berteriak

Mari, saudara-saudaraku sebangsa
Mari membentuk Indonesia
Mari merencanakan Indonesia
Menurut kepala kita masing-masing
Di atas kepentingan kita masing-masing
Dan jangan lupa
Siapkanlah senjata!!!
Untuk saling membunuh!!!

Bandung, 13 Agustus 2005

Pledoi Hari Pahlawan

Tak ingin kuwarisi anak-anaku kelak
Dengan kepengecutan
Tak ingin kuajari mereka
Dengan pandangan hidup yang didasarkan pada kompetisi.

Sebab kompetisi hanya alat untuk memiliki
Tak ada harta untukmu anakku
Jika
Kepemilikan hanya untuk ukuran nilai manusia

Aku masih percaya
Penderitaan adalah cara mujarab
Untuk melahirkan manusia merdeka

Pesanku sebagai ayahmu
Untuk warisanmu kelak
Disebuah laci lemari butut
Sehelai kertas kumuh kutinggalkan
Tertulis “Kemenangan atau Maut?”
Disini di atas sajadah
Di hari pahlawan

Makassar, 10 Nopember 2002

Jijik Pada Mesin Jam

Jijik dengan mesin waktu
Jijik pada mekanisme pabrik
Jijik pada robot-robot kerja
Dengan transformasi palsu
Distribusi uang palsu
Manusia terserabut
Budaya hilang makna
Otot digantikan besi karatan

Teknologi
Modernisasi Alat produksi
Penghisapan menjalankan Industri
Semua palsu…busuk!!
Semua di remote dari kegelapan

Labih baik kini ku berjalan
Menggenggam nasib dengan mantap
Tanpa sesal kukepal keakuanku
Terjang…lawan… menang
Sebab kalapun mati
Kita punya kehidupan
Dengan menghantui pikiran orang lain

Bandung, 15 agustus 2005

Mi’raj suatu ketika

Detik-detik kunantikan telah tiba
Pernikahan suci dengan Tuhanku
Aku bertekuk diri di sudut nol derajat
Seluruh terserap lebur

Matahari, bulan, bintang, bumi pijakan
Hilang..lebur.. fana
Tinggallah Aku sendiri
Aku tak punya aku, lebur aku dalam aku

Kusaksikan Dia pada segala sesuatu
Walau kutahu Dia bukanlah sesuatu itu sendiri
Dia lah yang dengan segala kasih sayang
Menjaga tetes-tetes embun di pagi hari

Tiada sedikitpun yang luput dariNya
Dimana harus berlindung?
Dia ada dimana-mana
Ada di dalam dan diluar

Aku angkat saksiku
Tiada tuhan melainkan Engkau
Dan aku adalah utusanMu
Sedetikpun Kumurtadkan diriku
Jika berpisah denganMu.

Bandung, 2 September 2005

Meludahi Pujian

Hari yang gemilang
Mabuk pujian dan sanjungan
Membuat hati terjerembab
Tersungkur ke jurang kenistaan angkuh

Siapa peduli pada sanjungan
Aku hanya peduli pada diriku
Hanya peduli pada diriku yang menjelma
Menelusup ke seluruh jiwa yang setia

Kesombongan adalah panggung kemunafikan
Berjuta malaikat kuikat disebatang salib raksasa
Yang kubuat bagi seluruh agama manusia
Penjelmaan kebaikan yang sudah berwujud kebinatangan

Suara berisik mengganggu di ujung malam
Jiwa yang sendiri, jiwa yang merenung
Tertunduk dikaki para dewa palsu yang bertahta
Tubuh yang haus kekuasaan memeluk kusta hatinya

Kenapa harus kau hancurkan
Bunga tak mungkin pergi bersama kumbang
Hanya harum yang sejati serta madu abadi
Mengalir dari hati yang menderita

Aku disini menelan segala pujian
Senjata manusia paling menakutkan
Keluar dari ruang kegelapan
Kuludahkan kembali ke lantai sambil berseru
Tidak Lagi!!!!

Bandung, 29 Agustus 2005

Melawan Dingin

Tulisanku berceceran dimana-mana
Saat kugores kembali buku ini
Udara begitu dingin, tembok kamar lembab
Membekukan semangat, menyelipkan sepi

Yang menangis, yang ditinggalkan
Dibelit susah, tertusuk derita
Aku sudah disini
Merasa bersalah dan tersasar langkah

Aku ingin disana, bersamamu
Aku ingin disana, bersama kalian
Bersama merintih, bersama bersimbah duka
Menantang malam, merajut cahaya

Tak ingin aku berlama-lama disini
Tapi aku sudah disini, tak ingin surut
Disini aku tak belajar… tak sekolah
Disini ku kejar prestise

Dibalik dinding sekolah yang mewah
Mereka menjuali dewa gajah
Aku disini bersama kalian
Malawan dingin untuk disudahi
Menemu fajar esok, tanpa air mata, tanpa derita

Bandung, 7 Agustus 2005

Kisah pada diri

Di hari yang sempurna ini
Manakala segala hal telah matang
Bukan hanya asam yang tumbuh menua
Seberkas matahari telah terbit di hidupku

Aku menoleh ke belakang
Aku menatap kehadapanku
Belum pernah sebelumnya kulihat
Hal-hal yang begitu banyak dan baik bersamaan

Tidak sia-sia kukuburkan dua puluh enam tahunku hari ini
Aku harus menguburnya
Apa yang dahulu hidup di dalamnya
Dikuburkan berarti diselamatkan dan menjadi kekal

Semuanya adalah hadiah dari hari ini
Ketika dalam kesendirianku
Mencoba mengepal tangan
Mengungkap rahasia langit dan samudera
Menunggu kekasih yang tak kunjung tiba
Sepi semakin menjalari
Mengaliri seluruh ruang kosong sarafku
Benak hitam terpenjara di lorong hitam

Demikianlah aku mengisahkan kehidupanku
Kepada diriku sendiri

Palu, 17 Agustus 2002

Kepada CAK MUNIR

Aku benci tanah ini Cak
Tanah yang setiap hari kupijak
Tanah yang hari ini kembali merampasmu dariku
Tanah yang senantiasa menyuburkan tirani

Aku benci udara ini Cak
Udara yang setiap hari kuhirup
Udara yang hari ini telah enggan memberimu kehidupan
Udara yang senantiasa memenuhi paru-paru borjuasi

Aku benci Air ini Cak
Air yang setiap hari kuminum
Air yang hari ini mengaliri kesedihan kami
Air yang senantiasa memberi kesegaran baru bagi para tentara

Aku benci tanah ini Cak
Aku benci udara ini Cak
Aku benci air ini Cak
CAK…..Aku benci semua yang ada di negeri ini

Negeri surga para koruptor
Negeri surga para politisi pelacur
Negeri surga para militer kanibal
Negeri surga para penghuni neraka

Tanah yang sudah digerogoti cacing keserakahan
Udara yang telah disesaki oleh kepulan asap kecurangan
Air yang telah di cemari limbah tinja anjing penguasa
Negeri yang lebih mirip wc umum para bule dan kubangan dosa modal asing

Tanah yang mengubur tulang belulang rakyat miskin
Udara yang menyimpan para arwah korban pembantaian
Air yang mengalirkan darah juang buruh tani
Negeri yang berdiri di atas bangkai kemelaratan

Negeri yang hari ini merampasmu Cak
Negeri yang hari ini membunuhmu Cak
Negeri yang hari ini menghempaskanmu Cak
Negeri yang hari ini mengambilmu dari kami CAK

Ketika Cecak bergerutu di dinding malam
Kau pergi dari kami tanpa pesan!!!!

Makassar, 7 September 2004

Jiwa yang satu

Ketika suatu hari
Ia bersimpuh dan berteriak
“Aku ingkari Kau, aku telah berselingkuh dengan akal”
Aku menelan ludah, darahku sedang normal

Kurasa dia jujur
Ia tak pernah bersimpuh sebelumnya
Kecuali satu kali
Dulu

Ketika dia sedang mandi
Dan malaikat tiba-tiba melintas
Padahal Jiwanya sedang telanjang
Rahasianya tersingkap
Dia menangis
Hanya jiwa yang satu yang mampu melihat
Akal tidak rintihnya
Kini dia bersimpuh lagi
Karena telah berselingkuh dia dengan akalku

Bandung, 31 Agustus 2005

Jiwa Haus Letih

Di puncak ini baru kusadari dinginnya kesendirian
Kebosanan punya banyak cara untuk membunuh
Lampu kota menyala satu persatu
Kilaunya memastikan aku jauh dari keramaian

Di puncak ini dingin menerpa bersama angin
Kencang menerbangkan sisa keteguhan jiwa
Semangat hidup redup bagai lentera kehabisan minyak
Jangkrik mendekap malam dengan bau rumputan

Di puncak ini edelweis enggan tumbuh
Gersang bagai onggokan pasir gurun
Dimana cinta tertulis dan hilang terhapus badai
Kekasihpun menjauh tanpa kecupan terakhir

Kesendirian mewujud utuh mengerikan
Tanpa busana menari di hadapan kehausan
Semakin cepat ritmenya, semakin tumpuan goyah oleng
Mencoba berpegang pada tiang rapuh kesadaran diri

Letih aku mengejar rembulan impian
Tak kunjung datang menyirami hati
Kudamba kehangatan bagai kudamba hidup matiku
Tetap saja dinding dan tumpukan buku menjawab bisu

Matahari akan terbit sebentar lagi
Menjanjikan sesuatu yang sama tak pastinya dengan malam
Dari puncak kesendirian aku menarikan kepedihan
Ketika jiwa haus akan tanah kekasih tak bermata-air

Bandung, 3 Nopember 2006

Isra’ di kegilaan, Mi’raj di Ketiadaan

Tuhan …. Aku datang lagi
Aku mengaduh lagi, kini merintih jua
Aku telah dipinggirkan, dinistakan
Hanya karena aku menyembahMu dengan beda

Aku kadang merasa salah
Tapi Kau tahu sifatku ini
Untuk menjadi kuat
Aku harus merasa sebagai orang benar

Tuhan… apa lagi hendak kukatakan
diriMu sendiri jauh dari yang terbahasakan
PintuMu yang mana lagi harus kuketuk?
Sedang seluruhnya tak pernah Kau tutup!

Aku tak pernah lagi mengaharapkan kegaibanMu
Sebab Kau begitu nyata bagiku
Untuk apa lagi aku terbang kesana kemari mencariMu
Sedang Kau bersamaku senantiasa

Apalagi yang membuatku malu menangis?
Sedang tangisku menjadikanMu begitu dekat
Ruang dan waktu mana lagi yang harus kutuju?
Sedang Kau ada disetiap wujud tatapan

Tuhan aku datang lagi
Sebab ingin kutegaskan kembali sikapku ini
Ketika aku lemah dan dipinggirkan
Ketika kebenaran dirampas dari tanganMu

Aku disini selalu bersamaMu
Kelak kembali di penyatuan yang kita rindukan
Wahai… Kau yang jauh tak berantara
Dekat tak tersentuh.

Bandung, 3 September 2005

Entah dimana dan apa?

Menikmati hidup
Dalam sebuah harmoni maha indah
Musik tanpa suara
Puisi tak berkata-kata
Tawa yang hening bening

Saat gelap begitu bercahaya
Ketika bahasa kehilangan aksara
Saat kosmos berwajahkan diam
Ketika tinggi sejajar dengan rendah
Saat darah mengalir terbalik

Saat diri menemu diri
Hilang kata
Hilang beda
Hilang seluruh yang ada
Dari dalam ketiadaan abadi
Entah dimana dan apa?

Bandung 3 September 2005

Doa Mistis Nietzche

Aku membentuk lingkaran-lingkaran
Dan batas-batas suci disekelilingku
Lebih sedikit yang memanjat bersamaku
Menuju pegunungan yang lebih tinggi

Aku membangun sebuah kemarahan
Membentang dari pegunungan
Yang lebih suci
Dan lebih suci

Aku telah melihat lebih jauh
Aku telah mampu lebih jauh
Dari makhluk manapun
Berkehendak lebih jauh
Dari makhluk manapun

Kekuatan-kekuatan dari
Hakikat manusia yang paling tinggi
Paling rendah… termanis… paling menakutkan
Mengalir dari satu mata air kepastian
EGO, A K U!

Bandung, 1 September 2005

Timur Dunia Timur di Hati

Di dunia Timur
Cinta tak bernilai ekonomis
Kesetiaan tak punya nilai tukar
Makanya tidak menjadi penting

Di Timur dunia
Ekonomi adalah mesin kehidupan
Nilai tukar adalah nafas lega sehabis kemarau
Makanya penting untuk dinilai

Timur di dunia
Menari sepanjang abad
Tarian dilupakan berganti gemerlap laser
Makanya kutinggalkan

Dunia di Timur
Ramuan dituangkan
Kedalam cawan memabukkan
Makanya kutamatkan bacaanku

Di dunia Timur
Ada gelisah
Di Timur Dunia
Terbit matahari pengkhianatan
Timur di Dunia
Adalah kehinaan gaib
Dunia di Timur
Punya selaksa kematian

Makanya aku disini
Makanya kamu disana
Agar ada jarak
Antara Timur dengan dunia
Agar ada penghubung
Antara Timur dengan dirinya sendiri

Makanya Tuhan tak peduli
Karena kamu mati dalam cita-cita
Karena kamu tikam dirimu dengan keraguan
Dan kamu taburi kepalamu dengan mistik
Makanya malaikat iri
Karena kita semua bisa berkhianat tanpa merasa berdosa.
Karena memang kita tidak peduli

Bandung, 26 September 2005

Dari Tuhan Manusia Penjara!!

Ah, engkau kaum Manusia
Aku melihat semua mimpi lelap di tembok
Mimpi Tembok lumutan khayal yang terantuk
Dan kita semua, harus tidur di atas dipan terkeras dan terbusuk

Kini kepalku marah dan merangsek
Merangsek dengan garang melawan tembok-tembokku!!
Pecahan batu dan lumut berhamburan dari tembok
Apakah itu bagiku?

Aku menyelesaikannya, harus!!
Karena sebuah bayangan datang menghampiriku
Yang paling sunyi
Yang paling ringan dari segalanya

Datanglah kepadaku
Kemuliaan manusia dewa datang kepadaku
Sebagai sebuah bayang-bayang
Menjelma puluhan , ribuan dan jutaan

Apa yang kau tunggu?
Sujudlah kau dewa-dewa
Dibawah telapak kakiku
Tuhan manusia!!

Palu, 12 Agustus 1997

Baru dimulai!!!

Entah apa yang sedang bergerak
Dan kemana harap menuju
Ku kayuh terus gelora hati
Membakar tong-tong sampah
Mengobarkan revolusi
Penindasan tak jua selesai
Perlawanan harus terus disuarakan
Aku memekik..lawan ….lawaaan!!
Maju… kataku!!
Kembali aku ditindas
Dengan tatap mata meremehkan
Dan senyum mencibir

Kutulis sebuah kalimat
Pena meluncurkan marah di helai yang berdebu

Pemberontakan
Baru akan dimulai!!!

Palu, 21 Juli 2002

AHMAD BILAA MIM

Mumpung belum pergi
Kuperas seluruh rasa yang timbul tenggelam
Tak ingin kubiarkan ia berlalu begitu saja
Ketika ia buyar dan pergi
Aku yakin tak satu hurufpun bisa tertoreh disini
Rasa yang membingungkan, kadang ingin, kadang mau

Hahahahhaha
Sangat lucu berbicara dengan rasa
Pada saat tidur dia pergi entah kemana
ke dunia yang entah
Ketika kembali, tak satupun yang diceritakannya kepadaku
Bagai seorang bocah memeluk mainan,
Dia genggam teguh rahasiaNya

Angin datang membisikkan pagi
Tak juga ingin dia bercerita tentang dunia entah
Hanya satu yang sempat kudengar …..dia katakan
Dalam dunia entah, yang ada hanya gelap
Gelap hanya yang bisa terlihat oleh tahu
Tahu yang entah
Siapa yang memandang gelap saat tidur, Entah
Dari mana nama gelap, Entah
Dimana kau pergi ketika aku tidur, Entah
Dimana dunia Entah, Entah
Entah???? Allah
Ah, ih, uh
Uh, uhh, uhhhh
Huuuuuu, AHAD