Untuk Cak Munir
Badai mana lagi yang tak pernah kita tantang
Setapak-demi setapak kita lawan kegelisahan semesta
Disetiap tikungan, tirani selalu melantunkan tahlilan kematian
Pedang karatan merenggut pendekar satu-satu
Pagi kita adalah ketersiksaan yang buta
Deru asap dan jeritan knalpot kota Jakarta
Bersimbah peluh kekuasaan korup
Tak ada lagi tersisa selain kemarahan tertahan
Bungkamlah semua yang tercerai
Tak kulihat matamu meneriakkan kebenaran
Keadilan hanya tinggal dongeng anak sekolahan
Lucu, kering dan membuat tidur
Kantor demi kantor berdiri pongah dan egois
Pengadilan demi pengadilan memastikan kekalahan
Meloncat kita ke atas batu imitasi kemapanan
Korban berjatuhan menegaskan kepecundangan
Kata apa lagi yang hendak tersembur
Teori rumit mana lagi yang hendak kau hamburkan
Burung pelatuk tak belajar dari kerasnya pohon
Poster, spanduk, kamera, plakat hanya kecengengan yang butut
Musim hujan tiba
Ladang belum di olah
Cacing tanah sudah mendahului
Kemalasan adalah kematian di jalan ini
Kenapa tak lagi berlawan
Masih percaya pada lobi dan intrik borjuasi
Pada mesin-mesin kekuasaan berpelumas senjata
Merenggut kawan satu-satu, merenggut pendekar di ujung Batu
Aku berjalan di sisi sebuah kuburan cahaya
Jauh dari hiruk pikuk kosmos kebohongan
Damai menunggui pohonnya yang ditanam semusim yang lalu
Di nisannya tegas tertulis: Aku telah Pergi!!
Makassar, 4 September 2005
Friday, February 23, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment