Saturday, November 10, 2007

Eksistensi

Akulah yang bernama sedih
Yang kau bariskan pada airmata
Tersembunyi, tak mewujud
Sendiri bernama eksistensi

Akulah yang bernama dingin
Yang kau genggam bersama salju
Bersembunyi, tak terbilang
Lenyap bersama kebekuan air

Akulah yang bernama gelap
Yang kau lekatkan pada diri malam
Tersamar, namun nyata
Bersetubuh dengan manifestasi

Akulah yang bernama cinta
Yang kau tatap pada mata kekasih
Terabaikan, namun menggetarkan
Esa bersama ciuman pertama

Akulah dirimu
Yang membisikkan ayat-ayat tak beragama
Hadir disetiap helaan nafas yang terabaikan
Tak terlahirkan namun tak berujung

Akulah yang bernama Tuhan
Yang kau saksikan pada detik-detik dalam hari
Menjelma diri sepanjang musim
Tunggal bersama ruang tak berbatas

Aku, kau
Hanya kita yang tahu

Giessen, 8 Nopember 2007

Thursday, November 8, 2007

Tetaplah Disitu

Berlebihan katamu
Jujur kataku
Cengeng katamu
Berperasaan kataku

Aku tak menulis untukmu
Aku menulis untuk kehidupan
Aku adalah kata pertama
Yang menitis dari awal penciptaan

Tetaplah duduk disitu
Bersama senja yang tak punya sikap

Giessen, 7 Nopember 2007

Selalu Begitu

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Jelata mengais hidup dari nasi sisa restoran
Memilah-milah menu yang belum basi
Memesan kelaparan dari rente kehidupan

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Misteri selalu terkandung dalam rahim malam
Pagi hari kadang tak sanggup membidani kelahirannya
Kalaupun lahir, kokok ayam telah menolak menjadi bapaknya

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Kota-kota menjelmakan diri menjadi mimpi
Meniduri siapa saja yang terbius candu urban
Langit seakan menjadi layar tancap opera kehidupan nan absurd

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Berputar-putar, menukik dan mencium bumi
Mencoba bangkit bersama musim semi
Namun angin terlalu kencang untuk sekedar berdiri

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Rindu, rasa cinta dan kematian menjadi tak berbeda
Entah sedih atau gembira
Hanya terpisah satu helaan nafas

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Hasil akhir kehidupan mungkin bernama sejarah
Tapi hidup belum berakhir, masih berlembar-lembar kuarto kosong
Menunggu kita menuliskan kisah menang dan kalah
Tak perlu kau baca semua ini, walau puisi ini mungkin untukmu
Jika hanya mencaci yang kau bisa, lakukanlah dengan hormat
Sebab setiap hidup merindukan kebebasan
Tak seorangpun bisa memenjarakannya...pun dirimu

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Setelahnya adalah melawan kekuasaan langit

Giessen, 7 Nopember 2007

Dibawah Langit Kurusetra

Drupadi baru saja mencuci rambutnya
Mensucikan diri dengan darah Dursasana
Sudah bertahun-tahun
Sejak kekalahan Yudhistira di meja judi

Durna dan Sengkuni dikutuki para dewa
Bharatayudha baru saja berakhir
Tak ada yang tahu siapa pemenangnya
Sebab kebenaran tak bisa tegak dengan peperangan

Ketika ribuan anak panah menembusi tubuh tua sang Bisma
Sejak itu, sosok suci selalu membuatku muak
Panah Arjuna dan kereta sang Wisnu
Menjelma sebongkah batu keangkuhan duniawi

Di sebuah senja, dari atas bukit pesakitan
Dibawah langit Kurusetra yang hitam
Kumuntahkan marahku
Perang baru akan segera menyingsing. Bersiaplah

Giessen, 7 Nopember 2007

Tak Ada Peradaban

Bangunan tua menara gading
Lukisan mahal dari kubangan darah
Benteng megah sejarah peperangan
Sejarah kemenangan dipayungi langit airmata

Tak ada peradaban kusaksikan
Tak ada, selain jejak perbudakan

Giessen, 7 Nopember 2007

Kita Memang Tak Pernah Bercinta

Kemarin
Kau belum disini
Hari ini
Kau tak jadi datang
Esok
Kau bukan kekasihku
Kita
Memang tak pernah bercinta

Kau dan Aku
Bukan siapa-siapa

Giessen, 7 Nopember 2007

Sunday, November 4, 2007

Kenapa Kau Tanyakan

Tak sadarkah dirimu
Ketika kau tanyakan
Mengapa Cinta begitu cepat tumbuh
Dalam satu helaan nafas

Tak sadarkah dirimu
Begitu butakah kau selama ini
Atau kau memang tak tau
Bahwa begitu mudahnya dirimu untuk dicintai

Bukan hanya aku
Tapi oleh semua, yang masih memiliki kepala sekaligus hati
Semoga namaku masih
Kau cantumkan dalam waiting list

Giessen, 4 Nopember 2007