Thursday, August 21, 2008

Yang Tersisa

Hanya ini yang tersisa dari kecerdasan kita
Sisanya adalah keberanian cinta yang ceroboh

Bandung, 19 Agustus 2008

Resep Air Mata

Matamu sembab semalaman
Hanya diam menggantung di dinding kamar yang berbau garam
Kita memang tak pernah bisa berterus terang
Namun genggaman tanganmu mengabarkan perpisahan

Kutemukan suratmu terselip di bilik tanpa isyarat
Meski terlambat tetap saja kusesali guratan takdir
Ketika kutuntaskan makna pesanmu
Telah kau tegaskan kata terakhir tanpa titik

Masih menyengat bau tubuhmu di ruangan ini
Berputar-putar bersama kisah kita yang segera akan kita tuntaskan
Aku merasakan kehausan yang misteri
Karena tak kutemukan penawarnya dalam larutan hidrogen

Segala tentangmu menggerogoti kakiku yang masih berusaha menopang
Kau yang selalu meredam dengkurku saat tak sengaja terlelap
Matamu yang selalu mencariku bersama pagi hari yang telanjang
Semua begitu sempurna hingga pergimu begitu mengguncangkan

Kau benar, aku bukan lagi petarungmu
Segala tentangku adalah menu tanpa alternatif
Kulihat kau diseberang perbatasan pagi
Aku disini tak bisa memulai lagi

Kau salah, jika kau pikir bisa menghapus kenangan dengan lupa
Sebab kenangan selalu melekat pada udara
Yang sepanjang sisa hidup akan kuhirup memenuhi rongga waktuku
Dimana tak ada lagi kosa kata untuk perpisahan

Bandung, 18 Agustus 2008

Pojok Bandung

Inilah saat yang tepat untuk pergi
Lipatlah seluruh kenangan di langit
Tampung dalam selembar kertas bergaris pelangi
Hujani dengan air mata sang pemberi wangsit

Ijinkan kuselipkan sebuah kenangan yang menyerupai angan
Meski tak ada lagi jejak keberanian tersisa
Aku kau dalam pusaran mata angin
Terbangkan seluruh kisah menuju nirwana

Percayalah pada wajah sang malam
Kelam namun jujur menanggung rahasia semesta
Gagap ku baca seluruh suratmu
Aku merasa malu meringkuk diujung kegamangan

Kau begitu putih ditengah badai kesendirianku
Arakan bidadari mengiringmu menjauh
Meninggalkan aku yang semakin menjelma titik
Kecil dan segera menemu fajar di bumi yang lain

Bandung, 17 Agustus 2008

Wednesday, June 18, 2008

Pada Alam

Rumah itu masih duka
Seorang lelaki telah meninggalkannya
Lelaki yang selalu menyambut pagi dengan segelas teh manis
Sangat manis, hingga tak tergantikan oleh kematian

Laki-laki itu dulunya kekar
Namun setahun yang lalu sudah begitu ringkih
Pun matanya selalu memancarkan kemerdekaan
Tapi sakit, selalu lebih kuat dari sang hidup

Laki-laki itu
Pernah ditawarkan kemewahan oleh kota
Namun lumpur sawah tak ingin ditinggalkannya
Yahh, tanah leluhur membuatnya berpaling dari kota

Sebagai pemberani
Tak pernah dia berkata bohong
Karena baginya, kebohongan adalah pembangkangan atas takdir
Hatinya selalu menjadi pedoman dalam berkata

Sebagai lelaki dia punya seribu cita-cita
Tentang sawahnya, tentang anaknya, tentang petani, tentang bangsanya
Penyiar tivi selalu membuatnya gelisah
Namun tak ada yang bisa dilakukan

Laki-laki itu telah pergi
Bersama cita-citanya, bersama gelisahnya
Tinggallah kini seonggok kenangan
Bersama kuburan yang berbau sorga

Giessen, 18 Juni 2008


Untuk pamanku A. Bahrun Alam Nur, yang selalu membuka tangan untuk membantuku, dan mengajarkanku bagaimana menentukan pilihan. Selamat jalan dan kekal lah dalam kematian.

Karnaval Pasti Berakhir

Hidup selalu saja bagai karnaval
Riuh, riang dan berwarna
Mengusir luka dan penat sejenak
Setelahnya senyap ditelan kejauhan

Kehidupan memang bagai karnaval
Penuh karakter, jubah dan topeng
Berpijak pada aspal yang sudah tua
Namun menyelipkan senyumnya pada trotoar

Karnaval bagai hidup yang menyimpan luka
Berbaris berarak seakan tak berakhir
Aku masih di pojok, selalu dengan cemas
Karena pesta ini pasti akan berlalu

Giessen, 18 Juni 2008

Wednesday, June 4, 2008

Suguhan Luka

Jika jejak darah belumlah cukup
Maka tanah akan menumbuhkan pertanda

Jika amarah tak lagi terbendung
Biar sungai yang mengalirkan amuk

Jika caci maki menemu kebenaran
Jadilah anarki menjelma agama

Kamu, aku, satu bangsa
Hanya lukakah yang kau suguhkan?

Giessen, 4 Mei 2008

Tuesday, June 3, 2008

Sajak Untuk Tirani

Kami biarlah jadi debu saja
Biar api yang membakar langit

Giessen, 3 Juni 2008

Thursday, May 8, 2008

Pergilah

Pergilah, jangan bersedih
Siapkan segala sesuatu untuk dibawa
Perjalananmu akan panjang
Pastikan tak ada yang terlewat

Tak perlu kau berikan ciuman perpisahan
Satu senyuman saja cukup
Terlalu banyak membuat kita over dosis
Kemudian muntah dan mabuk

Pergilah, jangan kembali
Sebab hidup bukanlah bundaran HI
Tak perlu memutar kembali
Berjalanlah lurus dan tak ambigu

Ingin kuantar kepergianmu
Sekedar melambaikan tangan
Namun langkahku terpaku pada angkuh
Biarlah aku disini saja

Pergilah, aku akan tetap disini
Sekedar membetulkan pagar depan
Menghiasi jaring laba-laba dengan lampion
Biar bisa kunikmati nyalanya malam nanti

Pergilah,
Semua orang punya alasan
Untuk datang dan pergi
Begitupun bintang-bintang malam
Biarkanlah begitu
Semaunya
Seinginmu

Giessen, 7 Mei 2008

Kereta Pagi

Hidup bagaikan seonggok awan musim semi
Bisu merasa tanpa mampu mencipta hujan
Mereka dimana pusat angin
Gemetar menghadang matahari

Ketika malam menjelang
Aku meloncat ke balik kegelapan
Disana kutemui gubuk untuk istirah
Merekam lelah sehari penuh

Hidup kini bagaikan setumpuk kemarahan
Berdarah terantuk batu ketidakberdayaan
Kumaki semua yang sudah kulalui
Namun hanya gema sunyi menjawab lesu

Ketika pagi mengabarkan hari
Aku sudah terlambat
Tak mampu kekejar kereta pagi
Yang membawamu bersamanya

Giessen, 7 Mei 2008

Saturday, March 8, 2008

Demokrasi Adalah Kami

Demokrasi yang kamu maksud
Adalah kemenangan segelintir perut
Pesta pora keluarga dan kerabatmu
Serta cekikikan licik dibalik kegelapan

Demokrasi yang kamu inginkan
Adalah kekuasaan ditanganmu
Penghambaan pada uang yang kau hutang
Dan ketundukanmu pada bangsa kaya

Jika itu yang kamu maksud
Ketika itu yang kamu inginkan
Maka bukalah telingamu baik-baik
Kami ingin mengatakan sesuatu

Demokrasi yang kami maksud
Adalah kemenangan semua orang
Ketika semua perut bisa makan
Dan tak seorangpun yang mengambil lebih

Demokrasi yang kami inginkan
Adalah kebebasan di tanah leluhur kami
Ketika anak cucu kami bisa hidup tanpa ketakutan
Dan senyuman semua orang bersama matahari pagi

Itu demokrasi yang kamu maksud
Itu yang kami inginkan
Demokrasimu bukan untuk kami
Karena demokrasi adalah kami.... yang beratus-ratus juta

Giessen, 8 Maret 2007

Sunday, March 2, 2008

Angin

Angin datang bertamu malam tadi
Diketuknya tirai besi setiap pintu
Bunyinya berderak mengusik dingin
Angin datang mengabarkan perubahan

Bersamanya
Berjatuhan ranting tua musim dingin
Terhempas dalam sujud mencium bumi
Mereka telah kembali

Pucuk muda berpegangan pada harap
Melambai mengucapkan selamat tinggal
Kamilah kini yang bertahta
Angin telah menitahkan waktu

Pagi hari, di depan lantai teras yang beku
Kuburan ranting tua teronggok berwibawa
Angin telah reda menunaikan tugas
Membawa musim semi menepati janji... lebih awal

Gießen, 2 Februari 2008

Monday, January 28, 2008

Kalaupun Surga Ada

Kalaupun surga ada
Tentu kurang asik jika hanya dihuni orang Islam
Kalaupun surga ada
Tentu membosankan jika hanya ada umat Kristen

Kalau saja surga ada
Pastinya akan kurang indah jika penghuninya hanya kaum Budha
Kalau saja Surga ada
Bagaimanakah aku membahagiakan diri jika hanya Hindu didalamnya

Kalau saja surga akan ada
Aku tak tau bagaimana Tuhan menyebutnya indah
Jika surga hanya diperuntukkan untuk satu kaum
Jika demikian adanya, tentu surga sebaiknya tak ada

Surga untuk semua
Sebagaimana dunia untuk semua
Karena hanya itulah
Yang menyerupai keadilan dan keindahan

Kalau saja Tuhan ada
Tentu DIA pernah tiada

Giessen, 29 Januari 2008

Saturday, January 12, 2008

Mati

Tentu ada yang indah dari kematian
Tak seorang pun kembali dari alam mati
Atau mungkin juga
Karena kematian selalu menertawakan kehidupan

Tentu ada yang rahasia
Tak seorangpun bicara
Kecuali pesan singkatmu tadi malam
Segala yang terlahir, telah dikekalkan dengan kematian

Giessen, 13 Januari 2008

Dari Balik Ketiadaan

Dulu adalah tiada
Kini adalah jejak yang merekam diri
Dunia seakan di remote dari keremangan
Perang, kemiskinan, pembantaian seakan wayang yang didalangi

Kepala manusia berbau mesiu
Agama berubah wujud mengerikan
Perbedaan sudah menjadi nabi
Semua di kendalikan dari ketiadaan

Ketiadaan itu begitu berkuasa
Ketiadaan itu begitu mutlak

Giessen, 14 Januari 2007

Lieblich Wein

Manis... Kuceburkan diriku bersamamu
Dalam sebuah kolam yang bertepikan entah
Didasarnya nampak bintang menyala redup
Nampak gelisah dan ragu-ragu

Manis... jangan basahi rambutmu
Karena air selalu berteman dengan bencana
Bersihkan dirimu dengan api
Mungkin kelak langit akan menitahkan lain

Aromamu begitu kuat menembus kepala
Dalam redup musim dingin, kureguk kedamaianku
Hangat, detak jantung, berburu dalam darahku
Dalam mabuk kutemukan Kau dipojok hati

Franfkfurt, 12 Januari 2008

Diujung Nafas

Diujung nafas membonceng keabadian dan kematian

Ujung nafas... Hidup
Ujung nafas... Terengah
Ujung nafas... Tersedak
Ujung nafas... Orgasme
Ujung nafas... Kelahiran
Ujung nafas... Sekarat
Ujung nafas... Mati

Diujung nafas kita mengenali kehidupan


Frankfurt, 12 Januari 2008