Sunday, October 28, 2007

Lenyap Tak Bersisa

Pertengkaran pertama
Kau kuras airmataku

Pertengkaran kedua
Kau remukkan perasaanku

Pertengkaran ketiga
Kau tepiskan rasa sayangku

Pertengkaran keempat, kelima, keseratus
Kau rantai kebebasanku

Pertengkaran setelahnya
Kau kuhapus dari ingatanku

Hilang, terbang, lenyap
Tak bersisa

Giessen, 29 Oktober 2007

Dari Marahku

Tak puaskah dirimu
Dari satu kemenangan
Berpindah ke kejayaan yang lain
Belum cukupkah bagimu

Butuhkah engkau kekalahan dan sembah sujud dikakimu
Begitu pentingkah menumpahkan airmata kekasih
Atau bahkan kau butuhkan nyawanya
Sekedar menegaskan kelaki-lakianmu

Lihatlah dirimu dicermin
Setelah kemenangan ini
Kau bahkan tak sanggup menyentuhnya
Seperti Dursasana ejekulasi dini dihadapan Drupadi

Perempuan tak bisa kau hancurkan
Menggenggam kuat keyakinnya akan penciptaan
Air mata yang habis kau tumpahkan
Pelan-pelan memupuk pemberontakan

Dari marah yang menjelma kata-kata

Giessen, 29 Oktober 2007

Katakan Padaku

Katakan kepadaku
Apa yang membuatmu tak sadarkan diri
Rasa dendam?
Letih?
Terabaikan?
Putus asa?
Marah?

Kau masih juga diam
Kusentuh keningmu dengan sebuah kecupan sayang
Mukamu begitu pucat dan memancarkan kerapuhan
Takutmu tak lagi bisa kau maknai

Kau kembali tak sadarkan diri
Ketika dendammu
Letihmu
dan putus asamu
Tak bisa lagi kau ubah jadi marah.

Giessen, 28 Oktober 2007

Friday, October 19, 2007

Tidak...Kataku!

Beratus tahun kau rampok negeri kami
Kau adu domba dan kau angkuti rempah-rempah kami
Kau tanamkan permusuhan di tanah subur hunian dewata
Dan hari ini tiba tiba kau cekoki kami tentang Perdamaian

Beratus tahun kau hisap darah kami
Kau dirikan ribuan pabrik di atas tengkorak para kuli
Kau bayar tenaga dengan meludahkan kemiskinan
Dan hari ini kau datang, menggurui kami tentang hidup sehat

Beratus tahun kau gunduli hutan kami
Kau sogok para komparador nasional
Kau bayar para cukong untuk memperkosa bumi keramat
Dan hari ini kau berteriak tentang pemanasan global

Tutup mulutmu
Hari ini kamilah yang berkata
TIDAK!!!

Giessen, 16 Oktober 2007

Saturday, October 13, 2007

Bintang Telah Aku Curi

Bintang-bintang telah aku curi malam ini
Tidak akan ada lagi yang bisa menikmatinya
Langit telah kosong, tinggal bulan menangis kesepian
Semua telah kusembunyikan di sebuah gudang tak berwilayah

Bintang-bintang telah kucuri malam ini
Tak satupun teleskop yang akan menjangkaunya
Matilah ilmu pengetahuan yang mumpuni
Telah kulakukan makar atas kekuasaanmu

Bintang-bintang telah kusembunyikan
Matahari tak bisa lagi menghapusnya dari langit
Biarkan bulan terang sendiri diatas sana
Mungkin dia bisa belajar banyak arti kesendirian

Bintang-bintang telah aku kunci
Bersama dadamu yang penuh luka dan rasa marah
Bertahanlah sejenak, tunggulah aku pulang
Akan aku sisipkan sebuah bintang untukmu

Bintang-bintang telah aku penjarakan
Hanya satu yang kuselundupkan kepadamu
Agar kau tak lagi berduka
Dan kelak, hanya engkaulah satu-satunya yang bersinar


Giessen, 13 Oktober 2007

Semoga cepat sembuh, hanya itu yang bisa aku tulis, sebab hanya kata-kata yang tak butuh tiket pesawat. Itupun jika petugas Bandara Jakarta tak minta disogok kata-kata

Thursday, October 11, 2007

Sajak Perawan

Sayang, perawanilah diriku malam ini
Hanya ini waktu yang kau punya
Lakukanlah sesukamu, bertahun-tahun kau hamburkan kata cinta
Toh hanya ini yang kau butuhkan

Kekasih, perawanilah diriku
Ambillah untukmu, sebab setelah ini kan kuhirup udara kebebasanku
Bertahun dalam cengkeramanmu, takut dan cemas kehilangan cintamu
Menghamba dan meringkuk di pojok kelaki-lakianmu

Laki-lakiku perawanilah diriku
Besok aku akan terlahir kembali
Renggutlah darah pertama untuk birahimu
Perangkap raja-raja jaman purba

Lihatlah senyumku
Tidak seperti tangis berjuta perempuan biasa
Seolah hidup hanya sebatas keperawanan
Sebatas bercak darah di seprei dan celana dalam

Bajinganku
Coba katakan cinta sekali lagi
Aku ingin mendengar dan melihat matamu. Masih samakah???
Ah tidak kau sudah lewat, aku tak lagi mencintaimu, begitu juga engkau

Lihatlah tubuhku
Aku sudah kau perawani
Tak ada yang berubah
Selain sayap kebebasan yang tumbuh setelahnya

Dengan sayap itu
Aku akan terbang mencari kesejatian
Cinta dari seseorang, mungkin dua
Yang dikepalanya, tak bercokol dogma dan mistik malam pertama

Giessen, 11 Oktober 2007

Lailatul Qadar

Tadi malam aku berjumpa malaikat
Mintalah apapun dariku, malam ini lailatul qadar
Malam suci, malam doa-doa dikabulkan
Katanya mantap dan angkuh

Aku meminta
Buatlah semua orang di dunia ini kaya raya
Dan hentikanlah perang di muka bumi
Malaikat itu memalingkan wajah, dan pergi tanpa mengucap salam

TIDAK SOPAN!!! Kataku

Giessen, 11 Oktober 2007

Lebaran Bersama Kecoak

Idul fitri, lebaran
Terlalu sederhana hanya dengan kata maaf
Ibadah sekan menjadi sebentuk keangkuhan
Palsu dan terasing

Di kaki jembatan yang berbau basi
Segerombolan kecoak miskin berebut nasib
Takbir tak mengenyangkan perut yang kosong
Makan sehari sudah itu mati

Nasib tak cukup dibagi banyak
Kecoak yang masih lapar lalu masuk kelubang-lubang tanah jembatan
Melebarkan rongga bawah jembatan, memakan tanah sepuasnya
Perut mereka membesar dan meledak, luapan sungai menghanyutkan mayat mereka bersama kondom-kondom bekas berbau mesum

Ledakan menghamburkan tanah, jembatan goyah dan berongga
Ketika barisan pawai takbiran melintas diatasnya
Jembatan patah dan roboh mencium sungai, orang-orang menjerit panik
Tak ada lagi takbir di mulut, hanya pekikan meregang nyawa

Diujung rumput, seekor kecoak sekarat dan bergumam terbata
Selama ini kalian tak pernah bersama kami, kalian biarkan kami kelaparan
Sekaranglah saat bersama, tersenyumlah, marilah mati bersama
Karena lebaran sejati, hanya ada dalam kematian, kembali fitri

Giessen, 11 Oktober 2007

Akhirnya Suratmu Tiba

Akhirnya sepucuk suratmu tiba
Entah tersenyum, entah mencibir
Namun tak terkira bahagia melanda
Setelahnya, hanyalah kedukaan tanpa wajahmu

Giessen, 9 Oktober 2007

Telah Habis Kubagi

Harta, tak kau minta
Kata cinta, tak kau tagih
Sekotak coklat, tak kau harap
Seikat kembang, pun tak pernah kau mohonkan

Hanya waktuku yang sedikit kau inginkan
Itupun sudah habis kubagi

Tak ada lagi untukmu

Giessen, 9 Oktober 2007

Sajak Pavin Blok

Bagaikan seonggok pavin blok yang kelabu
Susah payah kujalinkan diriku, saling silang menguatkan
Kubiarkan pasir dan debu mengisi pori-poriku
Kau pasti mabuk malam ini
Subuh hari kau pasti melewati jalan ini
...dan kencing tepat dihidungku

Giessen, 9 Oktober 2007

Ketika Tidur Hanya Sebuah Mimpi

Untuk kawan X yang tak pernah lelah

Melangkah di jalan ini
Dirimu selalu habis terbagi angka tak terhingga
Tiada lagi tersisa darimu, begitu juga waktu
Pun untuk dirimu sendiri

Sejuta harap menarikmu ke ruang-ruang diskusi
Realitas menguras energi tiada muara
Kamar berdebu, komputer dan asap rokok
Tumpukan buku-buku dan segudang benang kusut

Melangkah di jalan ini
Menarik nafas seakan menjadi sebuah kemewahan
Belum lagi terhembus sempurna, telepon genggam memaki kebisuan
Detik ini menantimu di ruang yang lain

Waktu sekan tak pernah bisa kau taklukkan
Sekeranjang persoalan merengek, memintamu menjadi bapaknnya
Malam semakin larut untuk bersantai, tidur hanya sebuah mimpi tak terwujud
Karena esok kita harus turun ke jalan

Tak henti kau semaikan janin-janin kebebasan
Kau ajarkan bagaimana merebut hak-hak terampas
Kekuasaan di tangan kita, dari Tuhan
Selalu dan hanya itu dimulutmu

Suatu waktu, ingin kau enyahkan semua kesibukan
Mengunci diri dan mematikan handphone
Sekedar menikmati gairah birahimu yang tertahan
Namun, semua orang serentak memaki, Kau Liberal, Kau Pendosa, Kau Komunis!!!

Giessen, 9 Oktober 2007

Friday, October 5, 2007

Dibungkam Mati

Menginjakkan kaki di selangkangan Adriatik
Tanah air dirundung duka
Kenangan berdarah, kenangan memalukan
Ketika berpikir menjadi sebaris pemberontakan
Kuterima kabar kematianmu
Dalam sebuah sel tanpa cahaya

Pergilah sang guru kehidupan
Sepatu laras mendorong piring sup di sela jeruji
Bau penjara selalu membuatmu bergairah
Meski didera lecutan rasa sakit
Mulutmu tetap mengocehkan Andemo de Revolution
Hari sudah ditentukan...dalam satu hentakan, kematian datang membungkammu

Mengenang tragedi berdarah 1965, untuk jiwa-jiwa yang kuat dalam penjara Orde Baru

Venezia, 30 September 2007

Dalam Bau Lautan

Kuhirup dalam-dalam bau lautan
Adriatik menawarkan gairah tak berbentuk
Puncak Sant Marco menjulangkan sejarah umat manusia
Perdamaian, perang, cinta dan pragmatisme agama

Kuhirup dalam-dalam bau lautan
Palazzo Ducale dikerubuti burung dara
Tak ada tempat untuk sendiri, penuh dan berisik mencipta jarak
Ah..Jarak memang selalu menegaskan kerinduan

Kuhirup dalam-dalam bau lautan
Sudah begitu lama sejak Losari ternoda polusi
Pantai yang memberi begitu banyak ruang pribadi
Sunset yang indah dan selimut malam yang misteri

Kuhirup dalam-dalam bau lautan
Membadai seribu kata-kata, pucuk angin sujud dan gemetar
Telah kupastikan sebuah kemenangan
Pada hidup yang selalu menampar kecengengan

Kuhirup dalam-dalam bau lautan
Ada yang misteri dari air mata
Haru, suci dan bergaram, begitupun dengan air lautan
Mungkin mereka, saudara sekandung dalam semesta tak berbatas

Kuhirup dalam-dalam bau lautan
Saat kata-kata membatasi makna terpendam

Palazzo Ducale-Venezia Italy, 30 September 2007

Monday, October 1, 2007

Patah

Telah kau patahkan dalam sekejapan mata
Dahan yang selama ini menopangmu
Dirimu bagai daun, lemah menanti hujan
Haus dan menengadah

Perlahan kau dekati matahari
Membisikkan kalimat kecemasan
Mataharipun menangis dan terbenam
Sebab telah kau curi bulan dari meja riasnya

Kaupun mengharap embun pagi mengasihimu
Namun pagi terlalu sibuk untuk mempedulikanmu
Siang menggantikan pagi, juga lewat tanpa tersenyum
Tinggallah sore setia menjengukmu, meski tak kau pedulikan sedetikpun

Salzburg-Austria, 29 September 2007