Wednesday, September 26, 2007

Toilet

Tak ingin kubuang kemewahan kecilku setiap pagi
Di dalam sebuah kamar kecil bertuliskan toilet
Disini kuikhlaskan semua hidupku, puncak pencapaian kemanusiaan
Tak ada kebohongan, semua begitu telanjang dan terbuka

Bunyi air dan harum parfum ruangan
Menjadikan aku tenggelam menikmati cengkeraman tenaga gaib, magis dan senja
Eksitensi tak terjamah, absurd juga sejati
Kasat mata namun memupuk kekuatan sang jiwa

Diluar hujan begitu deras
Udara mendekati titik nol derajat
Aku tetap melanjutkan istirahku
Sementara senyummu belum juga datang

Giessen, 27 September 2007

Senyummu Tak Datang

Ketika cinta selalu punya cara untuk membunuh

Angin kecemasan membadai dalam sendiriku
Senyummu tak datang hari ini, juga kemarin
Dibawa pergi arus pasang tanpa samudera

Terbang sudah segala yang tersisa
Menjelma harapan tak berbalas
Ketika rindu begitu menakutkan

Halte bus RathenausStr, 26 September 2007

Tuesday, September 25, 2007

Pagi dan Sang Hidup

Sang hidup didera kebimbangan
Harus terus atau kembali
Ketidakpastian selalu berjalan menemani masa depan
Masa lalu selalu lebih nyata, meski terluka
Memilih, memang sulit, pekerjaan para penghuni khayangan
Seperti langit, memilih siang dan malam bergantian
Dewa bumi, selalu memilih sendiri musim yang bersamanya

Sang hidup kecewa pada waktu
Waktu tak pernah mau menungguinya
Tak sedikitpun menoleh, melintas dan membuatnya semakin gelisah
Seperti gelisah sang hidup yang memuntahkan badai
Malam selalu datang menawarkan perlindungan
Namun rindu, selalu berhasil merebut gelap dari malam
Esoknya, matahari ragu-ragu memanjati tebing langit di subuh hari
Namun pagi datang membawa pesan dan marah-marah

Mengapa masih kau kenakan selimut kebimbangan
Nasib tak menunggui kemurunganmu
Pagi yang kubawakan untukmu adalah sebuah makna
Dalam perjalananmu kelak, jangan pernah mau menjadi Koma
Jadilah serupa Titik, tegas, singkat dan selalu mengakhiri
Titik selalu mengawali huruf, bahkan Titik mengawali penciptaan
Ketika semesta masih kosong, Titik telah menjelma sejuta galaksi
Seluruh wajah kehidupan adalah penjelmaan dari Titik

Hari esok tak perlu membuatmu takut
Ketakutan selalu menistakan perubahan
Tegakkanlah dagumu, tunduk adalah sebentuk kepengecutan
Selebihnya adalah sejarah yang berulang
Insan takkan bisa dinistakan,
Takdir telah membawanya bersama kelahiran pertama
Hidup selalu mendaur ulang nyawanya, memberi makna, hingga tiada berakhir
dan Percintaan selalu menolak kematian

Giessen, 26 September 2007

Monday, September 24, 2007

Di Altar Ruperto Carola

Duduk di depan kafe tua Gasthaus Zum Mohren
Segelas cognac cukup mengusir masuk anginku, maklum anak tropis
Seorang musisi jalanan memainkan Gavotte En Rondeau punya Bach
Ingat waktu belajar main gitar dulu, aku tetap tidak mahir-mahir

Sedikit melempar pandang ke Selatan, kastil tua Heidelberg seakan berdiri bersaksi
Bayang Ruprecht, Ludwig, Ott Hainrich melintas samar, lalu hilang berganti perang
Kastil, Tsar Russia, imperium Austria dan Prussia, persekutuan melawan Napoleon
Cognac sudah kuteguk habis, Rondeau berganti Badinerie masih dari Bach

Angin musim panas membuatku sedikit demam
Bangunan khas Gothic yang tua, satu persatu menyita perhatian
Sesekali kujepretkan kamera, mungkin aku ingin punya rumah seperti itu
Tapi seperti biasa, tak pernah nyata, hanya sebaris puisi yang menjadi

Memasuki bagian kota sebelah Timur
Patung the Corn Market Madonna masih setia menggendong anaknya
Disela-sela dadanya tersisip sebuah panah, sang anak menggenggam panji suci
Suci dan perang memang kata yang senang bersenggama, perang suci

Setelah hilir mudik di Heidelberg Brucke
Kulepaskan diri dari keramaian, lengang, langkahku terhenti di Alte Aula
Ornamen tua gaya Baroque seakan menegaskan sakralisme abad purba
Di bagian depan berdiri sebuah altar yang begitu angkuh

Bayanganmu seakan nyata berdiri di atas altar
Ahh andai saja dirimu disini,
Tentu kau bisa memilih, kupeluk dirimu di Heidelberg Brucke
Atau di altar Ruperto Carola

Heidelberg, 23 September 2007

Sunday, September 23, 2007

Tak Lagi Mengganggumu

Mengapa masih mengurung diri
Pungutilah serpihan-serpihan bahagia tersisa
Walau tak mampu menyentuhmu
Sedihmu selalu hadir di cakrawalaku

Kusediakan sejuta kata untukmu
Sekedar menghiburmu dari penat seharian
Pun kau campakkan di sudut malam
Subuh selalu memanggilnya untuk kembali hidup

Meski tak lagi kan ku usik samadimu
Ruang hampa tak sanggup menghapus rambat suara
Biarkan kata menemanimu...disana, ditempatmu,
Tetaplah tersenyum, karena senyummu selalu menggulung senja
Sinar matamu selalu bercahaya, melebar dan seenaknya
Hiduplah kembali Fraulin...Karena kau tak akan pernah sendiri

Antrian masih panjang untukmu
sekedar untuk menuliskan nama
di Waiting List

Heidelberg, 23 September 2007

Thursday, September 20, 2007

Dibatas Airmata

Engkau yang mengurai airmata, dalam kubang kesedihan yang menyiksa
Engkau kini sendiri dalam kesedihan tuntas
Lihatlah di cermin, dikaulah keindahan tak terjamah
Selalu saja dirimu murung di dalam istanamu
Kau lepas seluruh keceriaan bunga-bunga pagi hari
Dan menghampiri kepiluan senja
Di tengah padang kesendirian

Percintaan seharusnya tidak mebuatmu lara
Memasung diri pada rangkaian duri mawar
Kau jelmakan diri menjadi taman tak terawat
Kau biarkan setiap musim yang singgah mengganggu ketenanganmu

Lihatlah, ribuan bunga menanti kebangkitanmu
Kolner Dom dan Santa Gross Martin semakin nampak tua tanpamu
Menaranya yang angkuh melambai-lambai memanggilmu
Burung-burung merpati berpuasa untuk kedatanganmu

Kenakanlah pakaianmu yang terbaik
Melangkahlah dengan anggun
Pesta ini sedang menanti ratunya
Perhelatan akbar menentang kesedihan

Lihatlah bagaimana dunia baru akan tersenyum
Parade kegembiraan dipayungi sang langit
Siap untuk mengarakmu
Menuju ke oase kehidupan
Dimana tak ada lagi airmata

Köln (Cologne), 20 September 2007

Sunday, September 16, 2007

Angkuhmu Menjunjung Cakrawala

Aku berusaha menggapaimu
Ketika kau melambung ke puncak batas langit
Melampaui menara utara KölnerDom, pun selatan
Terus, terus, jauh menitik di cakrawala

Kucari dataran yang lebih tinggi dan terbuka
Langkahku dihadang lebarnya sungai Rhein yang makin menua
Tiada putus asa kuseberangi Hindenburg Bridge
Tak terkejar, tetap tak bisa kugapai

Angkuhmu tetap menjulang,
Mengkristal di langit cakrawalaku
Ketika lonceng Gross Santa Marthin berdentang
Aku harus pulang, bisik angin musim panas

Mungkin kau akan turun ke bumi
Nanti...
Ketika kesepian mengurungmu di atas sana
Atau ketika hendak ke toilet

Köln, 15 September 2007

Thursday, September 13, 2007

Berlarilah Bersamaku

Berlarilah bersamaku
Disepanjang waktu ketidakmengertian
Tak perlu kau pacu langkahmu
Sebab mentari masih setia menanti kita

Berlarilah bersamaku
Akan kubawa kau mengitari padang kebebasan
Hiruplah dalam-dalam bau rumputan
Aromanya selalu menawarkan keabadian

Berlarilah bersamaku
Karena aku tak tahu jalan menuju rumahmu
Hanya sepenggal ingatan tak bertenaga
Serta aroma segelas jeruk dingin di tenggorokan

Berlarilah bersamaku
Tinggalkanlah semua kebosananmu dirak-rak kantor
Lipat disela tumpukan buku-buku dan bunyi printer
Sebab kebebasanmu menanti setelah tikungan ini

Berlarilah bersamaku
Ketika kau tak begitu sibuk
Disaat kau merindukan kegilaan masa kecilmu
Ketika aku dan kau masih bisa berlari

Giessen, 13 September 2007

Sajak Ingkar

Dulu AKU
utuh
menjadi
yang KAU inginkan
puluhan
ratusan
ribuan
tak berhingga

Kini
tak mau lagi
tunduk
Tinggal aku
hanya aku
untuk DIA

Giessen, 13 September 2007

Sang Kolor dan Orasi Kebebasan

Akulah wajah seluruh kehidupan bumi
Kutahan dingin dan panas dari tubuh-tubuh manusia
Peluh, daki, rasa asin dan percikan bakso aku serap
Kuendapkan seluruh keinginanku untuk menjadi celana

Akulah bintang seluruh jagad semesta
Kusimpan semua rahasia dalam kedalaman jiwaku
Artis, presiden, buruh, sopir angkot dan pelacur mencariku
Kusumpal mulutku, agar tak menjadi tukang gosip

Akulah saksi hidup semua kebohongan manusia
Karena akulah yang terakhir kali lepas dari tubuh mereka
Ketika berselingkuh mereka dengan kegelapan
Karena akulah yang pertama kali dikenakan ketika telepon berdering
Isteri cemas, anak butuh susu

Akulah simbol segala simbol
Simbol kejantanan
Simbol kebirahian
Aku dibakar, disobek-sobek, diinjak-injak

Kini aku tak mau lagi
Tak akan lagi jadi recorder kebohongan
Kalian terlau mengekangku
Terlalu merendahkanku

Biarkan aku BEBAS
Seperti langit yang tak pernah mengekang pelangi
Biarkan aku MERDEKA
Bagai sederet huruf didalam baris sebuah kata
Biarkan aku menjadi KUAT
Laksana karang menahan ombak bergulung gemuruh
Biarkan aku memiliki MAKNA
Persis seperti air berkawan awan yang menjadikannya hujan

Belajarlah dari hidupku
Kalian telah mengurungku berabad-abad di sel-sel selangkangan yang pengap
Namun tak bisa kalian belenggu kerinduanku akan kemerdekaan
Aku hanyalah selembar sampah tak berarti, namun kebebasan tetaplah harga mati
Pengekanganmu hanya menjadikanku seorang pemberontak

Kembalilah ke rumah,
Hiduplah tanpa kepalsuan
Bebas, Merdeka, Kuat dan Bermakna
Karena ...hanya itulah yang menyerupai Sorga
Dimana malaikat dan bidadari menyudahi tugasnya
Ujung segala perjalanan


Hiduplah kalian tanpa aku,
Tanpa kolor
Inilah pesanku yang terakhir
Setelah kemunculan perdanaku bersama Superman
Aku ingin bebas sekarang... istirahat

Giessen, 13 September 2007

Kenang dan Lawan

Mengenang 3 tahun kematian Munir

Bungkamlah semua yang berteriak
Kurunglah semua yang berseliweran
Kucaci sebuah tembok di lorong kegelapan
Mengenang tidak lagi cukup

Tembok itu masih bisu
Membatu, diam dan berbau lumut
Di dindingnya terpahat sebuah manifesto
Kenang dan Lawanlah!!

Giessen, 7 September 2007

Friday, September 7, 2007

Bisumu Menjelma Kata-kata

Mengapa tak kau balas satupun pesanku
Memilih bisu dan memendam marah
Katakanlah… mungkin marah akan lebih baik
Kejujuran selalu merambat melalui marah

Mengapa tak kau pecahkan keheningan ini
Mendera diriku dengan sejuta pertanyaan
Bicaralah.. sepatah dua dari jauh
Seperti langit berbicara pada pelangi yang meninggalkannya

Ketika bus berhenti di halte Berlinat Platz
Bisumu telah menjelma kata-kataku

Gießen Germany, 7 September 2007

Di Suatu Waktu Tak Berjejak

Dirimu adalah bidadari di taman ini
Kau mekarkan semua keharuman senja hari
Ketika matahari mulai terbenam
Kau nyalakan lilin keabadian di gerbang hampa

Taman ini sudah lama tak berpenghuni
Angin selalu datang sebelum hujan
Mengusik kesenyapan rerumputan yang istirah
Kau bernyanyi memisahkan siang dengan malam

Seekor kupu-kupu berkunjung membangunkanmu
Geliatmu menebar aroma tak terjamah
Dengan cahaya matamu yang berpendar kuat
Kau pahat sebuah patung disudut taman

Siang datang memenuhi janji
Tupai-tupai berloncatan di dahan rindu
Daun-daun asmara keabadian berdesir dan mengayun
Tanah menggandeng tanganmu yang halus untuk bersantap

Kaulah keindahan di taman ini
Tanpamu hanya sepetak ketidakmengertian
Mungkin disuatu saat, disebuah waktu tak berjejak
Kau sudi mengundangku untuk bersanding

Lebak Bulus, 1 September 2007

Dibungkam Kebisuanmu

Kuikat diriku pada sebatang kerinduan
Aku tak mungkin merengkuhmu
Secawan cintamu telah membuatku mabuk
Namun kau berlalu tanpa menoleh

Mataku mencarimu di dinding-dinding kampus yang tua
Namun bayanganmu pun enggan melintas
Hanya seekor kelinci berlarian di taman tak bernama
Sunyi dan ragu-ragu

Musim panas eropa akan berlalu sebulan lagi
Namun aku akan tetap memaku diri
Marahku tiba-tiba saja memuncak
Tak lama, setelahnya hanya kesunyian membatu

Sehabis kuliah
Kususuri taman yang sama
Kelinci itu tak lagi nampak
Seperti cintaku dibungkam kebisuanmu

Gießen Germany, 7 September 2007

Tuesday, September 4, 2007

Kepada Si Kuda Terbang Maria Pinto

Lahir dari puingan masa yang berantakan
Kau melawan di tapal batas kegelisahan zaman
Kepak sayapmu seakan tak pernah lelah
Membuyarkan senyap dan ketakutan

Matamu selalu memicing ketika matahari mulai terbit
Mungkin siang membuatmu bergairah
Tapi ketakutanmu tak bisa kau sembunyikan
Karena virus flu tak hidup di suhu 16 derajat

Aku mengenalmu belum lama
Banyak yang tertinggal tapi lebih banyak yang akan datang
Tawamu selalu membekaskan kebebasan
Sebab pengekangan selalu membuatmu gelisah

Gießen Germany, 5 September 2007

Tunggulah


Detak waktu berjalan begitu sakit
Meninggalkan kenanganku yang sedang rewel
Bersamamu, tak banyak, tapi hampir saja membunuhku
Gemulaimu selalu memberi isyarat tak berpenghuni
Agustus mengabur di awal September
Itu berarti, aku harus pergi
Banyak yang ingin kukatakan
Namun dihadapanmu hanya diam jua yang memaku
Aku harus berbenah, aku tak mau ketinggalan pesawat

Menapaki koridor bandara, seakan bayangmu menguntit rinduku
Galaulah segala yang teratur
Terbanglah semua yang coba kutahan
Kumatikan ponselku
Bukan karena kehabisan pulsa
Tapi karena aku harus pergi
Tunggulah di Agustus yang sama
Setahun lagi

Jakarta, 3 September 2007

Harap di Ujung Entah

Mengingatmu adalah kekosongan
Sebab hari semakin sempit
Menyesakkan nafas di jantung yang berburu
Aku pergi hari ini
Untuk sesuatu yang entah
Hanya namamu ikut bersamaku
Setelahnya hanya harapan yang munumpuk

Jakarta, 1 September 2007

Pacar Jumat

Lahir dari puingan hampa
Hadirmu merambati dinding kesunyian hati
Selalu kunantikan dirimu di jalan itu
Mengintip dari balik kamar lengang
Namun dirimu tak pernah nampak
Karena kekasihmu selalu menjemput sepulang lelah
Hanya aromamu tertinggal tanpa busana.

Jakarta, 30 Agustus 2007