Rumah itu masih duka
Seorang lelaki telah meninggalkannya
Lelaki yang selalu menyambut pagi dengan segelas teh manis
Sangat manis, hingga tak tergantikan oleh kematian
Laki-laki itu dulunya kekar
Namun setahun yang lalu sudah begitu ringkih
Pun matanya selalu memancarkan kemerdekaan
Tapi sakit, selalu lebih kuat dari sang hidup
Laki-laki itu
Pernah ditawarkan kemewahan oleh kota
Namun lumpur sawah tak ingin ditinggalkannya
Yahh, tanah leluhur membuatnya berpaling dari kota
Sebagai pemberani
Tak pernah dia berkata bohong
Karena baginya, kebohongan adalah pembangkangan atas takdir
Hatinya selalu menjadi pedoman dalam berkata
Sebagai lelaki dia punya seribu cita-cita
Tentang sawahnya, tentang anaknya, tentang petani, tentang bangsanya
Penyiar tivi selalu membuatnya gelisah
Namun tak ada yang bisa dilakukan
Laki-laki itu telah pergi
Bersama cita-citanya, bersama gelisahnya
Tinggallah kini seonggok kenangan
Bersama kuburan yang berbau sorga
Giessen, 18 Juni 2008
Untuk pamanku A. Bahrun Alam Nur, yang selalu membuka tangan untuk membantuku, dan mengajarkanku bagaimana menentukan pilihan. Selamat jalan dan kekal lah dalam kematian.
Wednesday, June 18, 2008
Karnaval Pasti Berakhir
Hidup selalu saja bagai karnaval
Riuh, riang dan berwarna
Mengusir luka dan penat sejenak
Setelahnya senyap ditelan kejauhan
Kehidupan memang bagai karnaval
Penuh karakter, jubah dan topeng
Berpijak pada aspal yang sudah tua
Namun menyelipkan senyumnya pada trotoar
Karnaval bagai hidup yang menyimpan luka
Berbaris berarak seakan tak berakhir
Aku masih di pojok, selalu dengan cemas
Karena pesta ini pasti akan berlalu
Giessen, 18 Juni 2008
Riuh, riang dan berwarna
Mengusir luka dan penat sejenak
Setelahnya senyap ditelan kejauhan
Kehidupan memang bagai karnaval
Penuh karakter, jubah dan topeng
Berpijak pada aspal yang sudah tua
Namun menyelipkan senyumnya pada trotoar
Karnaval bagai hidup yang menyimpan luka
Berbaris berarak seakan tak berakhir
Aku masih di pojok, selalu dengan cemas
Karena pesta ini pasti akan berlalu
Giessen, 18 Juni 2008
Wednesday, June 4, 2008
Suguhan Luka
Jika jejak darah belumlah cukup
Maka tanah akan menumbuhkan pertanda
Jika amarah tak lagi terbendung
Biar sungai yang mengalirkan amuk
Jika caci maki menemu kebenaran
Jadilah anarki menjelma agama
Kamu, aku, satu bangsa
Hanya lukakah yang kau suguhkan?
Giessen, 4 Mei 2008
Maka tanah akan menumbuhkan pertanda
Jika amarah tak lagi terbendung
Biar sungai yang mengalirkan amuk
Jika caci maki menemu kebenaran
Jadilah anarki menjelma agama
Kamu, aku, satu bangsa
Hanya lukakah yang kau suguhkan?
Giessen, 4 Mei 2008
Tuesday, June 3, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)