Kalaupun surga ada
Tentu kurang asik jika hanya dihuni orang Islam
Kalaupun surga ada
Tentu membosankan jika hanya ada umat Kristen
Kalau saja surga ada
Pastinya akan kurang indah jika penghuninya hanya kaum Budha
Kalau saja Surga ada
Bagaimanakah aku membahagiakan diri jika hanya Hindu didalamnya
Kalau saja surga akan ada
Aku tak tau bagaimana Tuhan menyebutnya indah
Jika surga hanya diperuntukkan untuk satu kaum
Jika demikian adanya, tentu surga sebaiknya tak ada
Surga untuk semua
Sebagaimana dunia untuk semua
Karena hanya itulah
Yang menyerupai keadilan dan keindahan
Kalau saja Tuhan ada
Tentu DIA pernah tiada
Giessen, 29 Januari 2008
Monday, January 28, 2008
Saturday, January 12, 2008
Mati
Tentu ada yang indah dari kematian
Tak seorang pun kembali dari alam mati
Atau mungkin juga
Karena kematian selalu menertawakan kehidupan
Tentu ada yang rahasia
Tak seorangpun bicara
Kecuali pesan singkatmu tadi malam
Segala yang terlahir, telah dikekalkan dengan kematian
Giessen, 13 Januari 2008
Tak seorang pun kembali dari alam mati
Atau mungkin juga
Karena kematian selalu menertawakan kehidupan
Tentu ada yang rahasia
Tak seorangpun bicara
Kecuali pesan singkatmu tadi malam
Segala yang terlahir, telah dikekalkan dengan kematian
Giessen, 13 Januari 2008
Dari Balik Ketiadaan
Dulu adalah tiada
Kini adalah jejak yang merekam diri
Dunia seakan di remote dari keremangan
Perang, kemiskinan, pembantaian seakan wayang yang didalangi
Kepala manusia berbau mesiu
Agama berubah wujud mengerikan
Perbedaan sudah menjadi nabi
Semua di kendalikan dari ketiadaan
Ketiadaan itu begitu berkuasa
Ketiadaan itu begitu mutlak
Giessen, 14 Januari 2007
Kini adalah jejak yang merekam diri
Dunia seakan di remote dari keremangan
Perang, kemiskinan, pembantaian seakan wayang yang didalangi
Kepala manusia berbau mesiu
Agama berubah wujud mengerikan
Perbedaan sudah menjadi nabi
Semua di kendalikan dari ketiadaan
Ketiadaan itu begitu berkuasa
Ketiadaan itu begitu mutlak
Giessen, 14 Januari 2007
Lieblich Wein
Manis... Kuceburkan diriku bersamamu
Dalam sebuah kolam yang bertepikan entah
Didasarnya nampak bintang menyala redup
Nampak gelisah dan ragu-ragu
Manis... jangan basahi rambutmu
Karena air selalu berteman dengan bencana
Bersihkan dirimu dengan api
Mungkin kelak langit akan menitahkan lain
Aromamu begitu kuat menembus kepala
Dalam redup musim dingin, kureguk kedamaianku
Hangat, detak jantung, berburu dalam darahku
Dalam mabuk kutemukan Kau dipojok hati
Franfkfurt, 12 Januari 2008
Dalam sebuah kolam yang bertepikan entah
Didasarnya nampak bintang menyala redup
Nampak gelisah dan ragu-ragu
Manis... jangan basahi rambutmu
Karena air selalu berteman dengan bencana
Bersihkan dirimu dengan api
Mungkin kelak langit akan menitahkan lain
Aromamu begitu kuat menembus kepala
Dalam redup musim dingin, kureguk kedamaianku
Hangat, detak jantung, berburu dalam darahku
Dalam mabuk kutemukan Kau dipojok hati
Franfkfurt, 12 Januari 2008
Diujung Nafas
Diujung nafas membonceng keabadian dan kematian
Ujung nafas... Hidup
Ujung nafas... Terengah
Ujung nafas... Tersedak
Ujung nafas... Orgasme
Ujung nafas... Kelahiran
Ujung nafas... Sekarat
Ujung nafas... Mati
Diujung nafas kita mengenali kehidupan
Frankfurt, 12 Januari 2008
Ujung nafas... Hidup
Ujung nafas... Terengah
Ujung nafas... Tersedak
Ujung nafas... Orgasme
Ujung nafas... Kelahiran
Ujung nafas... Sekarat
Ujung nafas... Mati
Diujung nafas kita mengenali kehidupan
Frankfurt, 12 Januari 2008
Tuesday, December 25, 2007
Mata Yang Terbenam
Bersama matamu yang terbenam
Kau bawa secarik kertas berisikan wangsit
Pesan singkat dari Semar
Pertanda gelisah Manikmaya sang Batara Guru
Bersama matamu yang terbenam
Kau hadirkan petang di nirwana
Senjamu begitu mengagumkan
Namun tak jua kutemukan perbatasannya dengan malam
Aku ingin bersama matamu yang terbenam
Mungkin dapat kulihat rahasia dewata bersamamu
Namun pusaka Trisara begitu cepat menyergap
Wahyu Tejamaya luput dari genggamanku
Oh mata yang selalu terbenam
Lihatlah betapa rindu telah kau hadirkan menjadi kutukan
Aku menyesal telah memandangmu sore sepulang kerja
Seperti sesal Sang Hyang Wenang berbesankan Rekata sang raja kepiting
Giessen, 25 Desember 2007
Kau bawa secarik kertas berisikan wangsit
Pesan singkat dari Semar
Pertanda gelisah Manikmaya sang Batara Guru
Bersama matamu yang terbenam
Kau hadirkan petang di nirwana
Senjamu begitu mengagumkan
Namun tak jua kutemukan perbatasannya dengan malam
Aku ingin bersama matamu yang terbenam
Mungkin dapat kulihat rahasia dewata bersamamu
Namun pusaka Trisara begitu cepat menyergap
Wahyu Tejamaya luput dari genggamanku
Oh mata yang selalu terbenam
Lihatlah betapa rindu telah kau hadirkan menjadi kutukan
Aku menyesal telah memandangmu sore sepulang kerja
Seperti sesal Sang Hyang Wenang berbesankan Rekata sang raja kepiting
Giessen, 25 Desember 2007
Es Muss Sein
Pucuk-pucuk pohon merapat lembut
Daunnya telah gugur semusim yang lalu
Dahannya yang kini telanjang
Menanti janji dedaunan untuk kembali di musim semi
Jejak-jejak embun yang mungil
Membeku diujung ranting
Seakan hendak menegaskan kembalimu dari jauh
Yang tiba melecutkan kasih diujung pagi
Telah kutolak semua kata pertama
Namun cinta memang isyarat tak terbantahkan
Ketika datang dan pergi bagaikan kastil yang udzur
Digerbangmu, kutemukan sebuah cincin yang dicuri sang Nuri
Bergemirisik rumput-rumput yang terbangun
Butiran salju tak datang tepat waktu
Lonceng gereja berisik bersahutan
Malam tiba lebih awal, bersama dingin yang membeku
Langit retak dan menangis
Pohonan lebur menjadi bayang-bayang
Gelap, dingin, rumput dan salju
Hanya bayangan yang tak eksis, hanya Aku dan Kau
Muss Es Sein? Haruskan begitu?
Bethoven memekikkan kwartet terakhirnya
Ya sudah seharusnya begitu!
Es Muss Sein, Hanya Aku! Mungkin juga Kau
Giessen, 25 Desember 2007
Daunnya telah gugur semusim yang lalu
Dahannya yang kini telanjang
Menanti janji dedaunan untuk kembali di musim semi
Jejak-jejak embun yang mungil
Membeku diujung ranting
Seakan hendak menegaskan kembalimu dari jauh
Yang tiba melecutkan kasih diujung pagi
Telah kutolak semua kata pertama
Namun cinta memang isyarat tak terbantahkan
Ketika datang dan pergi bagaikan kastil yang udzur
Digerbangmu, kutemukan sebuah cincin yang dicuri sang Nuri
Bergemirisik rumput-rumput yang terbangun
Butiran salju tak datang tepat waktu
Lonceng gereja berisik bersahutan
Malam tiba lebih awal, bersama dingin yang membeku
Langit retak dan menangis
Pohonan lebur menjadi bayang-bayang
Gelap, dingin, rumput dan salju
Hanya bayangan yang tak eksis, hanya Aku dan Kau
Muss Es Sein? Haruskan begitu?
Bethoven memekikkan kwartet terakhirnya
Ya sudah seharusnya begitu!
Es Muss Sein, Hanya Aku! Mungkin juga Kau
Giessen, 25 Desember 2007
Saturday, November 10, 2007
Eksistensi
Akulah yang bernama sedih
Yang kau bariskan pada airmata
Tersembunyi, tak mewujud
Sendiri bernama eksistensi
Akulah yang bernama dingin
Yang kau genggam bersama salju
Bersembunyi, tak terbilang
Lenyap bersama kebekuan air
Akulah yang bernama gelap
Yang kau lekatkan pada diri malam
Tersamar, namun nyata
Bersetubuh dengan manifestasi
Akulah yang bernama cinta
Yang kau tatap pada mata kekasih
Terabaikan, namun menggetarkan
Esa bersama ciuman pertama
Akulah dirimu
Yang membisikkan ayat-ayat tak beragama
Hadir disetiap helaan nafas yang terabaikan
Tak terlahirkan namun tak berujung
Akulah yang bernama Tuhan
Yang kau saksikan pada detik-detik dalam hari
Menjelma diri sepanjang musim
Tunggal bersama ruang tak berbatas
Aku, kau
Hanya kita yang tahu
Giessen, 8 Nopember 2007
Yang kau bariskan pada airmata
Tersembunyi, tak mewujud
Sendiri bernama eksistensi
Akulah yang bernama dingin
Yang kau genggam bersama salju
Bersembunyi, tak terbilang
Lenyap bersama kebekuan air
Akulah yang bernama gelap
Yang kau lekatkan pada diri malam
Tersamar, namun nyata
Bersetubuh dengan manifestasi
Akulah yang bernama cinta
Yang kau tatap pada mata kekasih
Terabaikan, namun menggetarkan
Esa bersama ciuman pertama
Akulah dirimu
Yang membisikkan ayat-ayat tak beragama
Hadir disetiap helaan nafas yang terabaikan
Tak terlahirkan namun tak berujung
Akulah yang bernama Tuhan
Yang kau saksikan pada detik-detik dalam hari
Menjelma diri sepanjang musim
Tunggal bersama ruang tak berbatas
Aku, kau
Hanya kita yang tahu
Giessen, 8 Nopember 2007
Thursday, November 8, 2007
Tetaplah Disitu
Berlebihan katamu
Jujur kataku
Cengeng katamu
Berperasaan kataku
Aku tak menulis untukmu
Aku menulis untuk kehidupan
Aku adalah kata pertama
Yang menitis dari awal penciptaan
Tetaplah duduk disitu
Bersama senja yang tak punya sikap
Giessen, 7 Nopember 2007
Jujur kataku
Cengeng katamu
Berperasaan kataku
Aku tak menulis untukmu
Aku menulis untuk kehidupan
Aku adalah kata pertama
Yang menitis dari awal penciptaan
Tetaplah duduk disitu
Bersama senja yang tak punya sikap
Giessen, 7 Nopember 2007
Selalu Begitu
Selalu begitu, awalnya adalah marah
Jelata mengais hidup dari nasi sisa restoran
Memilah-milah menu yang belum basi
Memesan kelaparan dari rente kehidupan
Selalu begitu, awalnya adalah marah
Misteri selalu terkandung dalam rahim malam
Pagi hari kadang tak sanggup membidani kelahirannya
Kalaupun lahir, kokok ayam telah menolak menjadi bapaknya
Selalu begitu, awalnya adalah marah
Kota-kota menjelmakan diri menjadi mimpi
Meniduri siapa saja yang terbius candu urban
Langit seakan menjadi layar tancap opera kehidupan nan absurd
Selalu begitu, awalnya adalah marah
Berputar-putar, menukik dan mencium bumi
Mencoba bangkit bersama musim semi
Namun angin terlalu kencang untuk sekedar berdiri
Selalu begitu, awalnya adalah marah
Rindu, rasa cinta dan kematian menjadi tak berbeda
Entah sedih atau gembira
Hanya terpisah satu helaan nafas
Selalu begitu, awalnya adalah marah
Hasil akhir kehidupan mungkin bernama sejarah
Tapi hidup belum berakhir, masih berlembar-lembar kuarto kosong
Menunggu kita menuliskan kisah menang dan kalah
Tak perlu kau baca semua ini, walau puisi ini mungkin untukmu
Jika hanya mencaci yang kau bisa, lakukanlah dengan hormat
Sebab setiap hidup merindukan kebebasan
Tak seorangpun bisa memenjarakannya...pun dirimu
Selalu begitu, awalnya adalah marah
Setelahnya adalah melawan kekuasaan langit
Giessen, 7 Nopember 2007
Jelata mengais hidup dari nasi sisa restoran
Memilah-milah menu yang belum basi
Memesan kelaparan dari rente kehidupan
Selalu begitu, awalnya adalah marah
Misteri selalu terkandung dalam rahim malam
Pagi hari kadang tak sanggup membidani kelahirannya
Kalaupun lahir, kokok ayam telah menolak menjadi bapaknya
Selalu begitu, awalnya adalah marah
Kota-kota menjelmakan diri menjadi mimpi
Meniduri siapa saja yang terbius candu urban
Langit seakan menjadi layar tancap opera kehidupan nan absurd
Selalu begitu, awalnya adalah marah
Berputar-putar, menukik dan mencium bumi
Mencoba bangkit bersama musim semi
Namun angin terlalu kencang untuk sekedar berdiri
Selalu begitu, awalnya adalah marah
Rindu, rasa cinta dan kematian menjadi tak berbeda
Entah sedih atau gembira
Hanya terpisah satu helaan nafas
Selalu begitu, awalnya adalah marah
Hasil akhir kehidupan mungkin bernama sejarah
Tapi hidup belum berakhir, masih berlembar-lembar kuarto kosong
Menunggu kita menuliskan kisah menang dan kalah
Tak perlu kau baca semua ini, walau puisi ini mungkin untukmu
Jika hanya mencaci yang kau bisa, lakukanlah dengan hormat
Sebab setiap hidup merindukan kebebasan
Tak seorangpun bisa memenjarakannya...pun dirimu
Selalu begitu, awalnya adalah marah
Setelahnya adalah melawan kekuasaan langit
Giessen, 7 Nopember 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)