Tuesday, December 25, 2007

Mata Yang Terbenam

Bersama matamu yang terbenam
Kau bawa secarik kertas berisikan wangsit
Pesan singkat dari Semar
Pertanda gelisah Manikmaya sang Batara Guru

Bersama matamu yang terbenam
Kau hadirkan petang di nirwana
Senjamu begitu mengagumkan
Namun tak jua kutemukan perbatasannya dengan malam

Aku ingin bersama matamu yang terbenam
Mungkin dapat kulihat rahasia dewata bersamamu
Namun pusaka Trisara begitu cepat menyergap
Wahyu Tejamaya luput dari genggamanku

Oh mata yang selalu terbenam
Lihatlah betapa rindu telah kau hadirkan menjadi kutukan
Aku menyesal telah memandangmu sore sepulang kerja
Seperti sesal Sang Hyang Wenang berbesankan Rekata sang raja kepiting

Giessen, 25 Desember 2007

Es Muss Sein

Pucuk-pucuk pohon merapat lembut
Daunnya telah gugur semusim yang lalu
Dahannya yang kini telanjang
Menanti janji dedaunan untuk kembali di musim semi

Jejak-jejak embun yang mungil
Membeku diujung ranting
Seakan hendak menegaskan kembalimu dari jauh
Yang tiba melecutkan kasih diujung pagi

Telah kutolak semua kata pertama
Namun cinta memang isyarat tak terbantahkan
Ketika datang dan pergi bagaikan kastil yang udzur
Digerbangmu, kutemukan sebuah cincin yang dicuri sang Nuri

Bergemirisik rumput-rumput yang terbangun
Butiran salju tak datang tepat waktu
Lonceng gereja berisik bersahutan
Malam tiba lebih awal, bersama dingin yang membeku

Langit retak dan menangis
Pohonan lebur menjadi bayang-bayang
Gelap, dingin, rumput dan salju
Hanya bayangan yang tak eksis, hanya Aku dan Kau

Muss Es Sein? Haruskan begitu?
Bethoven memekikkan kwartet terakhirnya
Ya sudah seharusnya begitu!
Es Muss Sein, Hanya Aku! Mungkin juga Kau

Giessen, 25 Desember 2007

Saturday, November 10, 2007

Eksistensi

Akulah yang bernama sedih
Yang kau bariskan pada airmata
Tersembunyi, tak mewujud
Sendiri bernama eksistensi

Akulah yang bernama dingin
Yang kau genggam bersama salju
Bersembunyi, tak terbilang
Lenyap bersama kebekuan air

Akulah yang bernama gelap
Yang kau lekatkan pada diri malam
Tersamar, namun nyata
Bersetubuh dengan manifestasi

Akulah yang bernama cinta
Yang kau tatap pada mata kekasih
Terabaikan, namun menggetarkan
Esa bersama ciuman pertama

Akulah dirimu
Yang membisikkan ayat-ayat tak beragama
Hadir disetiap helaan nafas yang terabaikan
Tak terlahirkan namun tak berujung

Akulah yang bernama Tuhan
Yang kau saksikan pada detik-detik dalam hari
Menjelma diri sepanjang musim
Tunggal bersama ruang tak berbatas

Aku, kau
Hanya kita yang tahu

Giessen, 8 Nopember 2007

Thursday, November 8, 2007

Tetaplah Disitu

Berlebihan katamu
Jujur kataku
Cengeng katamu
Berperasaan kataku

Aku tak menulis untukmu
Aku menulis untuk kehidupan
Aku adalah kata pertama
Yang menitis dari awal penciptaan

Tetaplah duduk disitu
Bersama senja yang tak punya sikap

Giessen, 7 Nopember 2007

Selalu Begitu

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Jelata mengais hidup dari nasi sisa restoran
Memilah-milah menu yang belum basi
Memesan kelaparan dari rente kehidupan

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Misteri selalu terkandung dalam rahim malam
Pagi hari kadang tak sanggup membidani kelahirannya
Kalaupun lahir, kokok ayam telah menolak menjadi bapaknya

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Kota-kota menjelmakan diri menjadi mimpi
Meniduri siapa saja yang terbius candu urban
Langit seakan menjadi layar tancap opera kehidupan nan absurd

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Berputar-putar, menukik dan mencium bumi
Mencoba bangkit bersama musim semi
Namun angin terlalu kencang untuk sekedar berdiri

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Rindu, rasa cinta dan kematian menjadi tak berbeda
Entah sedih atau gembira
Hanya terpisah satu helaan nafas

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Hasil akhir kehidupan mungkin bernama sejarah
Tapi hidup belum berakhir, masih berlembar-lembar kuarto kosong
Menunggu kita menuliskan kisah menang dan kalah
Tak perlu kau baca semua ini, walau puisi ini mungkin untukmu
Jika hanya mencaci yang kau bisa, lakukanlah dengan hormat
Sebab setiap hidup merindukan kebebasan
Tak seorangpun bisa memenjarakannya...pun dirimu

Selalu begitu, awalnya adalah marah
Setelahnya adalah melawan kekuasaan langit

Giessen, 7 Nopember 2007

Dibawah Langit Kurusetra

Drupadi baru saja mencuci rambutnya
Mensucikan diri dengan darah Dursasana
Sudah bertahun-tahun
Sejak kekalahan Yudhistira di meja judi

Durna dan Sengkuni dikutuki para dewa
Bharatayudha baru saja berakhir
Tak ada yang tahu siapa pemenangnya
Sebab kebenaran tak bisa tegak dengan peperangan

Ketika ribuan anak panah menembusi tubuh tua sang Bisma
Sejak itu, sosok suci selalu membuatku muak
Panah Arjuna dan kereta sang Wisnu
Menjelma sebongkah batu keangkuhan duniawi

Di sebuah senja, dari atas bukit pesakitan
Dibawah langit Kurusetra yang hitam
Kumuntahkan marahku
Perang baru akan segera menyingsing. Bersiaplah

Giessen, 7 Nopember 2007

Tak Ada Peradaban

Bangunan tua menara gading
Lukisan mahal dari kubangan darah
Benteng megah sejarah peperangan
Sejarah kemenangan dipayungi langit airmata

Tak ada peradaban kusaksikan
Tak ada, selain jejak perbudakan

Giessen, 7 Nopember 2007

Kita Memang Tak Pernah Bercinta

Kemarin
Kau belum disini
Hari ini
Kau tak jadi datang
Esok
Kau bukan kekasihku
Kita
Memang tak pernah bercinta

Kau dan Aku
Bukan siapa-siapa

Giessen, 7 Nopember 2007

Sunday, November 4, 2007

Kenapa Kau Tanyakan

Tak sadarkah dirimu
Ketika kau tanyakan
Mengapa Cinta begitu cepat tumbuh
Dalam satu helaan nafas

Tak sadarkah dirimu
Begitu butakah kau selama ini
Atau kau memang tak tau
Bahwa begitu mudahnya dirimu untuk dicintai

Bukan hanya aku
Tapi oleh semua, yang masih memiliki kepala sekaligus hati
Semoga namaku masih
Kau cantumkan dalam waiting list

Giessen, 4 Nopember 2007

Sunday, October 28, 2007

Lenyap Tak Bersisa

Pertengkaran pertama
Kau kuras airmataku

Pertengkaran kedua
Kau remukkan perasaanku

Pertengkaran ketiga
Kau tepiskan rasa sayangku

Pertengkaran keempat, kelima, keseratus
Kau rantai kebebasanku

Pertengkaran setelahnya
Kau kuhapus dari ingatanku

Hilang, terbang, lenyap
Tak bersisa

Giessen, 29 Oktober 2007